Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. “Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu:
‘Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.’”
Belum sudah ia bereskan resahnya. Tapi malam buru-buru
mengingatkan: “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi
dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani
melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu.
Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala
yang berantakan dan berdebu di molek tubuhku.”
Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak poranda pada wajah
yang mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada rambut
yang mulai pudar hitamnya;
padang rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pinggul dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha.
Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi
dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing
di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan.
Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan.
Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum:
“Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan.
Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.”
“Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku.
Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku.
Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.”
Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan
dan terbirit-birit pergi seperti takut segera ketahuan.
“Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin.
Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik,
minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur, ngorok.
Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.”
Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan,
menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai
kembang plastik yang dulu ia berikan.
(1996)
Sumber: Celana (1999).
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. “Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu:
‘Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.’”
Belum sudah ia bereskan resahnya. Tapi malam buru-buru
mengingatkan: “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi
dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani
melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu.
Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala
yang berantakan dan berdebu di molek tubuhku.”
Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak poranda pada wajah
yang mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada rambut
yang mulai pudar hitamnya;
padang rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pinggul dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha.
Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi
dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing
di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan.
Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan.
Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum:
“Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan.
Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.”
“Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku.
Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku.
Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.”
Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan
dan terbirit-birit pergi seperti takut segera ketahuan.
“Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin.
Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik,
minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur, ngorok.
Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.”
Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan,
menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai
kembang plastik yang dulu ia berikan.
(1996)
Sumber: Celana (1999).