Di sebuah mandi kumasuki ruang kecil
di senja tubuhmu. “Ini rumahku,”
kau menggigil. Rumah terpencil.
Tubuhmu makin montok saja.
“Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar
berdatangan terus membangun badan
sampai aku tak kebagian lahan.”
Ke tubuhmu aku ingin pulang.
“Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,”
kau bilang. “Di tubuh sendiri pun aku cuma
numpang mimpi dan nanti numpang mati.”
Kutelusuri peta tubuhmu yang baru
dan kuhafal ulang nama-nama yang pernah ada,
nama-nama yang tak akan pernah lagi ada.
“Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka
di tilas tubuhmu dan aku bilang,
“Semuanya tinggal kenangan.”
Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta
di senja tubuhmu. Pulang dari tubuhmu,
aku terlantar di simpang waktu.
(2000)
Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016).
di senja tubuhmu. “Ini rumahku,”
kau menggigil. Rumah terpencil.
Tubuhmu makin montok saja.
“Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar
berdatangan terus membangun badan
sampai aku tak kebagian lahan.”
Ke tubuhmu aku ingin pulang.
“Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,”
kau bilang. “Di tubuh sendiri pun aku cuma
numpang mimpi dan nanti numpang mati.”
Kutelusuri peta tubuhmu yang baru
dan kuhafal ulang nama-nama yang pernah ada,
nama-nama yang tak akan pernah lagi ada.
“Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka
di tilas tubuhmu dan aku bilang,
“Semuanya tinggal kenangan.”
Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta
di senja tubuhmu. Pulang dari tubuhmu,
aku terlantar di simpang waktu.
(2000)
Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016).