Toilet (1)
Ia mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain
rumahnya. Ruang tamu boleh kelihatan suram,
ruang tidur boleh sedikit berantakan, ruang keluarga
boleh agak acak-acakan, tapi toilet harus
dijaga betul keindahan dan kenyamanannya.
Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci, tempat
merayakan yang serba sakral dan serba misteri.
Bertahun-tahun kita mengembara mencari
wajah asli kita, padahal kita dapat dengan mudah
menemukannya, yakni saat bertahta di atas
lubang toilet. Karena itulah, barangkali, kita mudah
merasa was-was dan terancam bila melihat
atau mendengar kelebat orang dekat toilet
karena kita memang tidak ingin ada orang lain
mengintip wajah kita yang sebenarnya.
Demikianlah, ketika saya bertandang
ke rumahnya, tanpa saya tanya ia langsung berkata,
“Kalau mau ke toilet, terus saja lurus ke belakang,
putar sedikit ke kiri, kemudian belok kanan.”
Mungkin ia bermaksud memamerkan toiletnya
yang mewah. Begitu saya keluar dari toilet,
ia bertanya, “Dapat berapa butir?” Butir apa?
Toilet (2)
Nah, ia terbangun dari tidurnya yang murung
dan gelisah. Dengan bersungut-sungut ia berjalan
tergopoh-gopoh ke toilet. Keluar dari toilet,
wajahnya tampak sumringah, langkahnya santai,
matanya cerah: “Merdeka!” Sambil senyum-senyum
ia kembali tidur. Tidurnya damai dan pasrah.
Terus terang saya suka membayangkan
yang bukan-bukan kalau ia berlama-lama di toilet.
Apalagi tengah malam. Apalagi mendengar ia
terengah, mengerang, mengaduh, sesekali menjerit
lalu berseru, “Edan!” Seperti sedang
melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan.
O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet
malam-malam untuk mengerami telur-telurnya.
Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur
dan toilet untuk melihat apakah telur-telur
mimpinya dan telur-telur mautnya sudah menetas.
(1999)
Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016).
Ia mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain
rumahnya. Ruang tamu boleh kelihatan suram,
ruang tidur boleh sedikit berantakan, ruang keluarga
boleh agak acak-acakan, tapi toilet harus
dijaga betul keindahan dan kenyamanannya.
Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci, tempat
merayakan yang serba sakral dan serba misteri.
Bertahun-tahun kita mengembara mencari
wajah asli kita, padahal kita dapat dengan mudah
menemukannya, yakni saat bertahta di atas
lubang toilet. Karena itulah, barangkali, kita mudah
merasa was-was dan terancam bila melihat
atau mendengar kelebat orang dekat toilet
karena kita memang tidak ingin ada orang lain
mengintip wajah kita yang sebenarnya.
Demikianlah, ketika saya bertandang
ke rumahnya, tanpa saya tanya ia langsung berkata,
“Kalau mau ke toilet, terus saja lurus ke belakang,
putar sedikit ke kiri, kemudian belok kanan.”
Mungkin ia bermaksud memamerkan toiletnya
yang mewah. Begitu saya keluar dari toilet,
ia bertanya, “Dapat berapa butir?” Butir apa?
Toilet (2)
Nah, ia terbangun dari tidurnya yang murung
dan gelisah. Dengan bersungut-sungut ia berjalan
tergopoh-gopoh ke toilet. Keluar dari toilet,
wajahnya tampak sumringah, langkahnya santai,
matanya cerah: “Merdeka!” Sambil senyum-senyum
ia kembali tidur. Tidurnya damai dan pasrah.
Terus terang saya suka membayangkan
yang bukan-bukan kalau ia berlama-lama di toilet.
Apalagi tengah malam. Apalagi mendengar ia
terengah, mengerang, mengaduh, sesekali menjerit
lalu berseru, “Edan!” Seperti sedang
melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan.
O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet
malam-malam untuk mengerami telur-telurnya.
Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur
dan toilet untuk melihat apakah telur-telur
mimpinya dan telur-telur mautnya sudah menetas.
(1999)
Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016).