Puisi Pasar Sentir Karya Joko Pinurbo

Pasar sentir. Tampatnya di bawah pohon beringin
di alun-alun kota kami yang kecil dan tenang.
Saya suka iseng main ke sana
mengamati tingkah seorang lelaki yang sering datang
menemui perempuan gembrot yang tawanya ngakak
dan mata-kucingnya selalu tampak membelalak
di antara kerumunan nyala lampu, jerit radio
dan gemeremang suara orang-orang kesurupan

Ia lelaki misterius. Kadang mengaku para-normal.
Kadang menyebut dirinya pelukis besar.
Tapi banyak yang bilang ia penyair gagal.
Ia suka minum, meracau, dan kalau mabuk
tubuhnya yang tambun terhuyung-huyung
kemudian ambruk di pangkuan perempuan gembrot
yang selalu sabar mendengarkan
bualan-bualannya yang gombal.

Malam itu ia bawa uang lima ribu buat beli jas merah
sebab ia akan pesiar ke tempat yang indah.
"Jas ini memang pas untukmu.
Cocok buat mbajul atau cari gandengan,"
kata perempuan antik itu setengah menggoda
tetapi lelaki nyentrik itu pura-pura tak tergoda.

Terang bulan. Dengan jas bekas dan celana kolor hitam
Ia bersiap pergi jalan-jalan cari hiburan.
"Malam sangat dingin, Pangeran. Mau melancong ke mana?"
"Aku mau cari jangkrik di kuburan."

Sampai keesokan paginya lelaki itu masih tertidur pulas
di antara batu-batu nisan, dengan bibir di tangan
sambil mendengarkan bunyi jangkrik yang krakkrik-krakkrik
dalam celananya yang kedodoran.
Di lain tempat perempuan itu masih terbaring nyenyak
di atas tumpukan barang-barang dagangannya
sementara lampu sentir-nya masih menyala.

Malamnya ia sudah mangkal lagi di sana
dan perempuan bawel yang sangat kemayu itu
menyambutnya dengan senyum rahasia.
"Bunyi jangkrikmu terdengar juga dalam tidurku," katanya.

Pasar sentir. Saya selalu kangen untuk mampir.
Saya anak jadah, calon penyair.
Saya tidak bilang bahwa lelaki tambun itu mungkin ayahku
dan perempuan gembrot itu mungkin ibuku.

(1998)


Sumber: Celana (1999).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama