Koran pagi masih mengepul di atas meja.
Wartawan itu belum juga menyantapnya.
Ia masih tertidur di kursi setelah seharian
digesa-gesa berita. Seperti biasa,
untuk melawan pening ia menepuk kening.
Lolos dari deadline, ia terlelap. Capeknya lengkap.
Tahun-tahun memutih pada uban yang letih.
Entah sudah berapa orang peristiwa, berapa ya,
melintasi jalur-jalur waktu di kerut wajah.
Ke suaka ingatan mereka hijrah.
Almarhum bapaknya sebenarnya tak suka ia
susah-susah jadi reporter. Lebih baik jadi artis
yang kerjanya diuber-uber wartawan.
Ibunya berharap ia jadi dokter agar dapat
merawat tubuhnya sendiri yang sakit-sakitan.
Siang itu, bersama teman-teman sekelasnya,
ia sedang berlatih mengarang. Semantara
kawan-kawannya sibuk bermain kata, ia bengong saja
sambil menggigit-gigit pena meskipun bu guru
berkali-kali mengingatkan bahwa cara terbaik
untuk mulai menulis adalah menulis.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terjadi
kebakaran. Bu guru dan murid-muridnya segera
berhamburan keluar. Belakangan beredar kabar
bahwa gedung sekolahnya sengaja dibakar
komplotan perusuh berlagak pahlawan. Saat itu
situasi memang sedang rawan, penuh pergolakan.
Tanpa menghiraukan bahaya, bocah bego itu
malah sibuk mencari-cari pena yang terjatuh
dari meja. Bu guru nekad menyusulnya,
sementara api makin berkobar dan semua panik:
jangan-jangan mereka ikut terbakar.
Setelah pensiun, bu guru yang pintar itu sibuk
mengurus kios koran kebanggaannya.
Sedangkan muridnya yang suka bengong kini
sedang lelap di kursi, matanya setengah terbuka.
Koran pagi masih mengepul di atas meja.
(2003)
Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016).
Wartawan itu belum juga menyantapnya.
Ia masih tertidur di kursi setelah seharian
digesa-gesa berita. Seperti biasa,
untuk melawan pening ia menepuk kening.
Lolos dari deadline, ia terlelap. Capeknya lengkap.
Tahun-tahun memutih pada uban yang letih.
Entah sudah berapa orang peristiwa, berapa ya,
melintasi jalur-jalur waktu di kerut wajah.
Ke suaka ingatan mereka hijrah.
Almarhum bapaknya sebenarnya tak suka ia
susah-susah jadi reporter. Lebih baik jadi artis
yang kerjanya diuber-uber wartawan.
Ibunya berharap ia jadi dokter agar dapat
merawat tubuhnya sendiri yang sakit-sakitan.
Siang itu, bersama teman-teman sekelasnya,
ia sedang berlatih mengarang. Semantara
kawan-kawannya sibuk bermain kata, ia bengong saja
sambil menggigit-gigit pena meskipun bu guru
berkali-kali mengingatkan bahwa cara terbaik
untuk mulai menulis adalah menulis.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terjadi
kebakaran. Bu guru dan murid-muridnya segera
berhamburan keluar. Belakangan beredar kabar
bahwa gedung sekolahnya sengaja dibakar
komplotan perusuh berlagak pahlawan. Saat itu
situasi memang sedang rawan, penuh pergolakan.
Tanpa menghiraukan bahaya, bocah bego itu
malah sibuk mencari-cari pena yang terjatuh
dari meja. Bu guru nekad menyusulnya,
sementara api makin berkobar dan semua panik:
jangan-jangan mereka ikut terbakar.
Setelah pensiun, bu guru yang pintar itu sibuk
mengurus kios koran kebanggaannya.
Sedangkan muridnya yang suka bengong kini
sedang lelap di kursi, matanya setengah terbuka.
Koran pagi masih mengepul di atas meja.
(2003)
Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016).