Puisi Kisah Seorang Nyumin Karya Joko Pinurbo

Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap, gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.

Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.

Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
“Sebutkan nama partaimu.”
“Saya tak punya partai dan tak butuh partai.”
“Lalu apa yang masih ingin kaulakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?”
“Diam, itu yang saya inginkan.”
“Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.”

Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak: “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap, sesungguhnya.
(1992)

Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama