Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah
Seorang nenek, pandangannya tua memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu
“Aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh
pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu
“Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah
“Anakku mati di medan laga, dahulu
saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
Jadi di lembah membias rasa syukur
Pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur
“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
“Tapi ayahku sepi pahlawan
Tutur orang terdekat, saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”
“Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh”
Sore berangkat ke dalam remang
Ke kelepak kelelawar
“Hormatku padamu, nenek! Karena engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”
“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta:
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”
Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu
(1995)
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah
Seorang nenek, pandangannya tua memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu
“Aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh
pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu
“Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah
“Anakku mati di medan laga, dahulu
saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
Jadi di lembah membias rasa syukur
Pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur
“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
“Tapi ayahku sepi pahlawan
Tutur orang terdekat, saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”
“Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh”
Sore berangkat ke dalam remang
Ke kelepak kelelawar
“Hormatku padamu, nenek! Karena engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”
“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta:
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”
Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu
(1995)