Puisi Bayangan Pudar Karya Nadine Vania Griselda

Di antara bisik-bisik angka yang tak pernah reda,
Tinta hitam ibarat teman setia,
menulis dengan sisa desir napas,
menyerap lelah yang tak pernah terhampar.
Setiap garis di kertas
seperti jalan pulang tanpa tepi
Tapi entah,
sudut mana yang dapat
kusebut rumah

Tinta hitam mencatat segalanya,
termasuk malam yang kehilangan pendar bulan.
Prestasi jadi saksi bisu
atas gemuruh kecil yang kusembunyikan di balik senyum.
Tapi entah,
berapa kali aku rapuh
sebelum fajar kembali menegakkan bahuku

Sembilan, sepuluh,
tak pernah cukup mendekapku.
Nilai sempurna berdiri bagai cermin pudar,
memantulkan dua siluet samar.
Aku menatap tanpa benar-benar melihat.
Satu hidup, satu hanya topeng.
Tapi entah,
siapa yang aku lihat,
aku, atau sosok yang mereka dambakan?

Mereka menoreh pujian di udara,
Kata itu bergaung di ruang yang sunyi.
Kutersenyum tapi suaraku karam,
di dada yang retak tanpa gema.
Tanah pujian menumbuhkan topeng,
namun akarku rapuh dibawahnya.
Tapi entah,
kapan mereka mengindra
Berapa lama lagi aku harus berpura-pura utuh?

Kadang aku iri pada hujan,
yang luruh tanpa penilaian.
Ia bebas tanpa gentar pada arah.
Aku hanya ingin belajar,
tanpa harus menang.
tanpa hitungan, tanpa penilaian
Tapi entah,
kapan waktu itu
akan luluh mendekapku

Ia menulis untuk diterima,
bukan untuk diagungkan
Ingin sekadar dipeluk,
tanpa harus membuktikan dirinya layak.
Tapi entah,
saat dunia berhenti menghitung
siapa yang bertahan, aku atau angka?


Sumber: Puisi kiriman Nadine Vania Griselda melalui email 21 November 2025.
Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Dukungan


Apakah Anda suka dengan karya-karya yang ada di narakata? Jika iya, Anda bisa memberi dukungan untuk narakata agar dapat tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai dengan nominal yang ingin Anda berikan. Sedikit atau banyaknya dukungan yang Anda berikan sangat berarti bagi kami. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama