Di setiap sudut sepi, gema suaramu masih terdengar
Rindu bagaikan lumut yang menjalar,
merayapi seluruh senyummu yang tertinggal
Kubuka ruangan senyap itu melihat
jam retak yang menahan detik kenangan kita
Aku coba menyentuhnya, tetapi waktu membeku seketika
dan menolak dengan penyesalan
Ku berteriak dengan lantang, mengapa dan mengapa
gengsi memaku lidahku, menahan permintaan maafku
Berkarat sudah pintu hatimu, tak mampu kubuka
Aku berjalan melewati labirin rasa, mencari siluetmu yang kabur
Namun, hanya kutemukan bayanganmu yang menolak kembali
Udara berkarat itu membisik ‘kau terlambat’
maka kucoba padamkan rindu
yang masih tercucur membanjiri lorong
Dan pada akhirnya ku hanya bisa pulang
menggigil dalam kesepian
menatap pigura senja terakhir
sambil tersenyum menyadari
dirimu yang tak dapat kembali
Sumber: Puisi kiriman Ken Emmanuel Riyanto melalui email 21 November 2025.
Rindu bagaikan lumut yang menjalar,
merayapi seluruh senyummu yang tertinggal
Kubuka ruangan senyap itu melihat
jam retak yang menahan detik kenangan kita
Aku coba menyentuhnya, tetapi waktu membeku seketika
dan menolak dengan penyesalan
Ku berteriak dengan lantang, mengapa dan mengapa
gengsi memaku lidahku, menahan permintaan maafku
Berkarat sudah pintu hatimu, tak mampu kubuka
Aku berjalan melewati labirin rasa, mencari siluetmu yang kabur
Namun, hanya kutemukan bayanganmu yang menolak kembali
Udara berkarat itu membisik ‘kau terlambat’
maka kucoba padamkan rindu
yang masih tercucur membanjiri lorong
Dan pada akhirnya ku hanya bisa pulang
menggigil dalam kesepian
menatap pigura senja terakhir
sambil tersenyum menyadari
dirimu yang tak dapat kembali
Sumber: Puisi kiriman Ken Emmanuel Riyanto melalui email 21 November 2025.
