Pagi ini seperti hari biasanya, di udara tercium aroma roti yang terpanggang, selai stroberi buatan rumah dan lelucon Ayah yang tak pernah pada tempatnya. “Sayang, kamu arsitek, ya? Soalnya cuma kamu yang bisa ngerancang masa depan aku,” Ayah tertawa mengatakannya dengan sangat percaya diri, kacamatanya sampai hampir jatuh dari hidungnya yang mancung—padahal Ayah tau sendiri, Mama-lah arsitek di rumah ini. Mama hanya tertawa singkat, fokus pada roti yang sedang ia panggang.
Alhasil, dari suara tawa Ayah yang terlalu besar, James terbangun dari tempat tidur bersprei biru tua dan selimut bermotif bulan sabitnya. Ia mengusap-usap matanya dengan pelan dan menguap besar. Kakinya terkejut menyentuh lantai yang dingin, terbiasa dimanja hangatnya selimut. Setelah selesai bertarung batin dengan lantai keramik yang dingin, James akhirnya beranjak dari kasur dan berjalan ke arah datangnya suara Ayah—ruang makan. “Pagi juara,” sapa mama dengan senyum yang manis mengalahkan selai stroberi. “Pagi juga, Mama,” saut James mengantuk. Ayah menyeret kursi memberikan ruang untuk James duduk. Dibarengi duduknya James, roti bakar otomatis ditaruh di depannya. Wangi dari roti semerbak tercium, uap yang mengepul membuat hawa hangat, roti dipanggang dengan sempurna—kuning kecoklatan warnanya, selai stroberi yang mengkilat dan bertekstur keluar dari tengah kedua roti yang ditumpuk semakin menggugah selera. James dalam sekejap terbangun dari kantuknya dan langsung bersiap menyantap hidangan manis itu. Satu suap, dua suap. Ia menyantapnya dengan nikmat. Mama tersenyum bahagia melihat anaknya makan dengan lahap.
Di suapan ketiga, kaki James tiba-tiba terasa ditempeli suatu benda yang berlendir dan lengket namun terasa famillier. Ia dengan hati-hati melihat ke bawah arah kakinya berada. Itu Friggit, sang katak dan juga satu-satunya sahabat karib James. “Kamu lagi sarapan, ya? Bagi dong,” bisik Friggit. James dengan sigap memasukkan Friggit ke kantong kanannya. Mama tidak suka hewan—apalagi katak yang jelek dan berlendir masuk ke dalam rumahnya tanpa izin. Suapan-suapan besar ditelannya buru-buru agar bisa menyembunyikan sang sahabat amfibi ke tempatnya berasal—kotak sepatu di dalam laci. Setelah mencuci piring sisa makannya, James berlari ke kamarnya, melewati tatapan bingung kedua orang tuanya. Tetibanya di kamar, Friggit melompat kesal, “kamu jahat! Mana sarapanku?!” James merogoh saku kirinya sambil menyeringai sombong, “jeng jeng jeng!” serpihan roti ada di tangannya, ukuran sarapan yang pas untuk seekor katak.
Sekolah dasar tempat James mempertanyakan akal sehatnya, tidak jauh dari rumah. Jika dihitung dari tiap sepatunya menyentuh jalan, sekitar 100 langkah jauhnya. “Hitung-hitung olahraga,” itulah kata Ayah setiap pagi, seorang pelaku yang mewajibkan dan menemani James berjalan kaki ke sekolah setiap pagi. Pernahkah kalian? Tiap kali merasa gugup, ada rasa seperti di dalam perut kalian terdapat rubah yang mencabik-cabik organ kalian dengan ganas? Mungkin dalam istilah simpelnya, yaitu mual. James memiliki rasa itu tiap kali berangkat sekolah. Di dalam perutnya bukan lagi rubah, tetapi gajah sebagai gantinya.
Saat yang paling ditakuti sudah tiba, raga James sudah berada di depan gerbang sekolahnya. Ia menelan ludah dan mengepalkan tangan. Dirinya belum siap, dan Ayah peka. Ayah mengusap ubun-ubun James, “ada apa Jamie?” alis kirinya terangkat—menginterogasi. “Tidak apa-apa Ayah,” dari sini satu keburukan James sudah terkuak. Ia suka berbohong ke orang lain bahwa ia baik-baik saja demi meniadakan kekhawatiran orang lain itu.
“Di mana temanmu? Si Friggit?” Ayah merapikan rambut James.
“Oh, dia sedang sakit,” tidak hanya membohongi orang lain, ia juga suka membohongi diri sendiri. Ini keburukan James yang kedua. Padahal, Friggit adalah seekor katak pohon hijau yang sekarang sedang ada di tas ranselnya, menyantap sarapan dengan santai.
James duduk di kursinya, tempatnya berada di dekat jendela, menghadap ke taman sekolah yang dipenuhi oleh bunga-bunga indah, satu-satunya hal yang bisa menenangkan kecemasannya. Ini masih jam 7—kelas dimulai jam 8. Melihat kesempatan ini, tangannya mengeluarkan buku sketsa dan satu set crayon 12 warna yang sudah tertata rapi sesuai dengan gelap terangnya warna, sedangkan, matanya berkeliling mencari mangsa untuk referensi. Kepala Friggit mencuat dari ransel James yang terbuka, “Kamu nggak mau nyoba main sepak bola kayak teman-temanmu yang lain? Mungkin dengan itu, jadi bisa dapet banyak teman!” Friggit melompat ke atas meja, mengamati buku sketsa James yang masih kosong tanpa goresan.
“Itu bukan aku yang sebenarnya Frig. Buat apa aku pura-pura menyukai sepak bola hanya karena aku ingin teman? Sendirian memang sepi, tapi aku lebih baik sendiri daripada berpura-pura jadi seseorang yang tidak aku kenali,” jawab James.
James sudah dari dulu merasa bahwa ia berbeda, alien dari planet lain, datang ke bumi hanya untuk menetap sementara. Seberapa keras ia mencoba untuk membaur, semakin berbeda ia merasa. “Bukankah anak-anak pada umumnya malah tidak perlu berusaha untuk membaur?” pikirnya setiap kali. Menggambar ialah satu-satunya kegiatan yang membuatnya merasa nyaman dan diterima, bukan alien dari planet pluto. Namun, manusia seutuhnya yang bisa merasa senang dan tenang, jauh dari tangan yang bergetar dan perut berisi gajah. James ingin menjadi pelukis, menghabiskan waktu hidupnya dengan crayon dan tangan yang ternodai warna, melihat kerapian di antara baju yang tertumpahi cat dan merasakan ketenangan dari suara pensil yang menggores kertas.
Ini sudah jam 7 lewat 30, kelas sudah mulai ramai, ketenangan mulai pudam dan rasa kesepian mulai terasa. Di meja tepat di sebelah kanan James, berkumpul Rangga, Adi dan Bima yang sedang bermain kartu uno, salah satu dari banyak permainan yang James tidak pernah bisa paham aturan mainnya. Dari kejauhan terdengar suara gadis yang terbahak-bahak, ia memasuki kelas dengan berjalan sempoyongan, lemas karena lelucon temannya yang lain. Friggit menyenggol siku James, “Dia siapa? Aku lupa namanya—gadis yang terlalu bersemangat di pagi buta itu.” James menoleh. “Itu Dewi”—crayon James patah di tangannya. Dewi mempunyai satu hobi yang tekun ia lakukan—mengganggu James. Ia adalah alasan utama, James mempunyai peternakan gajah di perutnya.
Senin lalu, Miss Sunshine—wali kelas James, meminta murid-murid di kelasnya untuk satu persatu membaca satu halaman dari buku favorit mereka di depan kelas. James dengan gagapnya membaca halaman pertama buku Matilda karya Roald Dahl. Dewi tertawa terbahak-bahak dengan tangan menunjuk James yang gelisah. Miss Sunshine, tentu menegur Dewi dengan tegas, tapi sejak hari itu—james berhenti membaca ulang buku Matilda.
Mata Dewi melirik ke tempat James berada—dengan langkah centilnya, Dewi menghampiri James—Dewi sedang butuh ekstra komedi hari ini. “Selamat pagi James!” suaranya melengking, mengalahkan tupai dari pohon pinus samping rumah. James tidak menjawab, tangannya sibuk memberi gradasi untuk bunga tulip. Tangan kecil Dewi mengambil buku sketsa James dan merobek-robek setiap halaman yang ada. “Upsieee, maaf! Lain kali jika aku menyapa—” wajahnya mendekat ke telinga James, seolah ingin berbisik, “jawab ya”. Mata James berkaca-kaca, dadanya naik turun, tangannya mengepal keras—Dewi sebelumnya, belum pernah sekalipun menyentuh barang paling berharga milik James. Tangan yang dulu dibuat untuk menghasilkan seni berubah menjadi kepalan keras dan otak yang dulu berisi ide-ide kreatif berubah menjadi keinginan akan kekerasan. James meninju Dewi tepat di wajahnya yang cantik. Dewi meringis, menahan tangis yang ingin keluar, seakan-akan harga dirinya di ujung tanduk. James berlari keluar kelas. Ia tidak sengaja. Karyanya adalah barang terakhir paling berharga yang dimilikinya, ia tidak bisa melepaskannya begitu saja. Friggit melompat mengikuti james. ”Kamu tidak seharusnya meninju seorang perempuan! Apa yang ingin kita lakukan sekarang?” Friggit menempelkan badannya di bahu James. ”Rumah,” katanya sambil meneteskan air mata tak karuan.
James berada di bawah meja makan, bersembunyi menunggu pertolongan, bahunya naik turun sama halnya jungkat-jungkit. Tangannya menutupi wajahnya bagai ada yang akan menerkamnya. Ayah kebingungan mencari sesuatu yang menerobos masuk secara kasar dari pintu belakang. Namun, telinganya mendengar suara tersedu-sedu dari sang kesayangan di bawah meja makan kayu, tempat memori makan malam tersimpan. Ayah berjongkok, wajahnya khawatir namun tenang.
“James?”—James memeluk erat Ayahnya, pelukannya dibalas sama hangatnya, “A-Ayah” tangannya mengusap air mata yang terus jatuh. “Kamu sudah di rumah Jamie, semua akan baik-baik saja,” ujar Ayah menenangkan James. Pada ayahnya, James menceritakan tiap kejadian dengan detail, tiap langkah, tiap ketakutan dan tiap tangis. Ayah mendengarkan dengan seksama sambil tangannya mengusap-usap tangan James dengan lembut. Mereka kembali berpelukan, “kamu tidak perlu berpura-pura baik-baik saja jika duniamu hancur. Jamie, menangis lah sekuat tenaga, berteriaklah, ungkapkan jika suatu hal membuatmu tidak nyaman, kamu akan tumbuh dan belajar dari berbagai luka itu, dan Ayah akan terus berada di sini, menemani di tiap langkahmu.”
_____
Sumber: Cerpen kiriman Khansa Ivana Anindya Dasuki melalui email 4 Desember 2025.
