Puisi Pelajaran Membunuh Orang Karya Taufiq Ismail

Sejak televisi bersaluran lima ini aku ditawari waktu untuk secara agak
mendalam ditatar cara membunuh orang yang didahului oleh
mukadimah belajar mengintai muslihat orang membunuh aku,

Kostum penting ternyata. Kalau kau kaya berlagaklah melarat karena
itu wajar dan kalau kau melarat berlagaklah berduit karena
itu lebih wajar lagi. Usahakan bersikap biasa, dingin seperti
agar-agar, agak acuh tak acuh, kunyah-kunyah permen karet
dengan aroma jahe, jangan beratkan titik pada nilai dramatik
tapi lebihkan pada gerak tipunya,

Sejak televisi bersaluran lima ini Sabtu lalu aku nyaris ditembak orang
dua kali, hari Ahad mau diculik sekali, Senin kejar-kejaran
mobil tiga belas menit, Selasa tabrakan beruntun sembilan
kendaraan, Rabu kecebur kolam satu setengah kali dan pada
hari Kemis tak terjadi apa-apa karena listrik mati,

Lewat layar kaca aku dilatih menghafalkan cara mencekik leher
perempuan kesepian dengan tali rafia, menusuk jantung
tetangga dengan linggis, menggergaji lengan demonstran,
membakar badan bajingan dan meledakkan perut laki-laki
hamil enam bulan,

Semua itu kulakukan santai sambil menggosok gusi dengan pasta gigi
berwarna biru, kumur-kumur cairan berduri yang warnanya
seperti pipis kuda, minum kopi sekental lumpur sawah
pegunungan, mengisap racun nikotin di atas pelana kuda
Arabia, mencuci bulu-bulu kaki dengan shampo 2-dalam-1 dan
melihat kamu yang memakai sepasang beha yang lebih mirip
seperempat beha,

Yang tivi agak ogah-ogahan adalah memberi simulasi cara bule pejantan
mengunyah bibir betinanya, tapi tivi membiarkan mata kita melihat
kepala orang terguling-guling atau tangan lepas dari engselnya yang
goyah. Tivi berwarna tidak lagi menyuguhkan misteri pelangi
apa pula air mata bianglala. Dia memaksa kita tersandar seperti
maling pemalas yang menyodorkan pergelangan tangannya diborgol
oleh waktu,

Yang tidak diajarkan oleh tivi adalah cara membunuh tivi.

Padahal aku tidak perlu terlalu cerdas untuk tindakan begitu berat. Untuk
membuatnya sekarat, cukup satu sentuhan saja pada sebuah tombol
yang keparat,

Ternyata aku memang gebleg, sudah agak lama.

(1991)


Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama