Taufiq Ismail


Taufiq Ismail, penyair yang dikenal luas sebagai tokoh sastrawan Angkatan '66 ini lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935 dan dibesarkan di Pekalongan. Dalam Tempo, Mei 2008 disebutkan bahwa ia pernah menggunakan nama samaran, yaitu Nur Fadjar.

Ayahnya adalah seorang ulama Muhammadiyah terkemuka, K.H. Abdul Gaffar Ismail, dan ibunya, Tinur Muhammad Nur. Dengan latar belakang keluarga seperti itulah Taufiq dikenal sebagai penyair yang bernafaskan keagamaan. Selain itu, Taufiq juga seorang kolumnis, dan berulang kali menulis lirik lagu untuk kelompok Bimbo.

Taufiq adalah anak sulung dari tiga bersaudara, adiknya bernama Ida Ismail dan Rahmat Ismail. Dari perkawinannya dengan Esiyati Yatim, Taufiq dikarunia putra tunggal Bram Ismail, M.B.A. yang bekerja di PT Unilever, melanjutkan karier ayahnya yang juga pernah bekerja di perusahaan Amerika Serikat itu selama 12 tahun sejak tahun 1978.

Pendidikan yang ditempuhnya diawali di sekolah rakyat di Solo dan ditamatkan di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta, tahun 1948. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan ke SMP I Bukittinggi dan tamat tahun 1952. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan SMA di Bogor yang ditamatkannya di SMA Negeri Pekalongan tahun 1956. Dia juga dikirim untuk belajar dalam rangka pertukaran pelajar di White Fish Bay High School, Milwakee, Wisconsin, Amerika Serikat tahun 1957. Selepas itu, ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor tahun 1957-1963 sampai memperoleh gelar dokter hewan. Dia juga menempuh pendidikan non-gelar, seperti di School of Letters International Writing Program, University of Iowa, tahun 1971-1972 dan tahun 1991-1992. Tahun 1993 Taufiq belajar di Mesir pada Faculty of Language and Literature America University in Cairo.

Taufiq Ismail pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Manajemen Peternakan di almamaternya tahun 1961—1964 dan dipecat gara-gara ikut menandatangani Manifes Kebudayaan yang membatalkan kepergiannya ke Amerika Serikat untuk studi lanjutan dalam Manajemen Peternakan di Florida. Pada tahun 1962 ia menjadi guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Cdiampelas, Bogor. Pada tahun 1963—1965 ia mengajarkan Bahasa Inggris di SMA Regina Pacis dan SKP Pamekar, Bogor.

Taufiq selagi masih berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa telah terlibat dalam organisasi pelajar dan kemahasiswaan, yakni Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keterlibatannya dalam organisasi yang antikomunis itu menjadikan Taufiq menghadapi masalah pada masa akhir Orde Lama. Kariernya untuk menjadi dosen dan peneliti di almamaternya terputus. Dia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia tahun 1960—1961. Kemudian, pada tahun 1961—1963 ia menjadi Ketua II Dewan Mahasiswa, Universitas Indonesia.

Pengalaman Taufiq memimpin organisasi mahasiswa memberinya bekal untuk terus berkiprah dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Dia ikut mendirikan Dewan Kesenian Jakarta dan pernah menjadi sekretaris dewan tersebut pada masa kepemimpinan Trisno Sumardjo hingga Umar Kayam pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an. Dia pernah juga menjabat Direktur Taman Ismail Marzuki dan Rektor LPKJ. Selain itu, ia pernah menjadi Ketua Yayasan Bina Antar Budaya yang mengelola penyelenggaraan pertukaran pelajar antarbangsa yang sejak 1957 hingga 1998 telah mengirimkan 1.700 siswa Indonesia ke lima belas negara dan menerima 1.600 siswa Asia di Indonesia. Untuk urusan itu, Taufiq pernah menjadi anggota Board of Trustee AFSIS di New York tahun 1974—1976 dan menjadi siswa pertama dari Indonesia untuk program tersebut. Setelah tidak menjadi Direktur LPKJ, Taufiq bekerja di PT Unilever dan menjabat Manajer Hubungan Luar PT Unilever tersebut hingga memperoleh pensiun tahun 1990.

Pada tahun 1966, bersama-sama dengan Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arif Budiman, Taufiq mendirikan majalah sastra bulanan Horison. Sampai sekarang (2008) Taufiq masih ikut mengendalikan majalah yang kegiatannya sudah merambah ke sekolah-sekolah dalam bentuk temu siswa dengan sastrawan yang disebut SBSB (Siswa Bertanya Sastrawan Bicara) di berbagai kota besar di Indonesia.

Kariernya sebagai penyair berawal ketika ia menulis puisi-puisi demonstrasi yang terkumpul dalam Tirani dan Benteng tahun 1966. Dia dikenal sebagai penyair partisan dalam aksi demonstrasi mahasiswa tahun 1966 itu dalam kapasitasnya sebagai wartawan harian Kami. Pada tahun 1970 terbit kumpulan Puisi-Puisi Sepi yang disusul kemudian tahun 1972 dengan Buku Tamu Musium Perjuangan. Dia menulis puisi anak-anak dan menghasilkan buku kumpulan puisi Kenalkan Saya Hewan yang terbit tahun 1973 dan diterbitkan ulang oleh Aries Lima tahun 1976. Pada tahun 1974 terbit kumpulan puisinya yang berjudul Ladang Jagung oleh Pustaka Jaya. Tahun 1990 terbit kumpulan puisinya untuk buklet baca puisi di lembar judul Puisi-Puisi Langit oleh Yayasan Ananda. Yayasan ini juga menerbitkan ulang gabungan Tirani dan Benteng dengan kata pengantar Kuntowijoyo tahun 1993. Ketika Indonesia mengalami krisis multidimensi yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, Taufiq menulis puisi yang mengungkapkan situasi zaman yang bersangkutan dan mengumpulkannya dalam buku kumpulan puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia tahun 1998 yang diterbitkan Yayasan Ananda.

Bersama D.S. Moelyanto, Taufiq menghimpun dan menyumbang tulisan esai sastra yang kemudian diberi judul Prahara Budaya (Mizan, 1995). Kumpulan artikel tersebut menghimpun perbenturan dan perdebatan seputar sastra pada masa dominasi politik dan budaya Lekra pada paruh pertama dasawarsa 1960-an. Dia juga menjadi editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan untuk buku kumpulan puisi dan reproduksi lukisan dalam dua bahasa dengan judul Ketika Kata, Ketika Warna yang diterbitkan Yayasan Ananda tahun 1995. Pada tahun 1995 itu juga ia bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S. menjadi editor antologi sastra Aceh di bawah judul Seulawah, antologi sastra Aceh yang diterbitkan Yayasan Nusantara bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam). Dia bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moch. Wan Anwar, menjadi editor buku Dari Fansuri ke Handayani, sebuah antologi karya sastra Indonesia yang melintasi beberapa abad. Bersama redaksi Horison, Taufiq mengedit Horison Sastra I-4 (2004) dan Horison Esai Indonesia 1-2 (2004). Untuk mengisi "55 tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia", ia menghimpun seluruh karya yang nasih tercecer berupa kolom, esai, cerpen, drama, dan lirik lagu sehingga menghasilkan buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1-4 dengan ketebalan 2759.

Dalam bidang penerjemahan, Taufiq ikut bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad menerjemahkan karya Iqbal The Reconstruction of Religius Thought in Islam yang diterbitkan Tintamas tahun 1964. Dengan dana dari Fullbright, Taufiq telah menerjemahkan puisi-puisi penyair Amerika dalam rentang waktu 150 tahun setebal 850 halaman di bawah judul "Rerumputan Dedaunan". Antologi karya terjemahan ini tidak dapat diterbitkan karena persoalan hak cipta yang tidak dapat diselesaikan.

Taufiq beberapa kali memenuhi undangan Festival Sastra dari 24 kota Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut menjadikan puisi-puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina. Undangan baca puisi di dalam negeri diterima juga dari beberapa kota di Indonesia, seperti Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Nusa Tenggara Barat, Makassar, Manado, dan kota-kota di Jawa.

Jerih payahnya dalam dunia sastra telah menjadikannya penerima berbagai penghargaan, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Anugerah Seni dari Pemeritah RI diterimanya tahun 1970. Penghargaan dari Pusat Bahasa diterimanya tahun 1994 yang kemudian membawanya untuk menerima SEA Write Award> dari Kerajaan Thailand pada tahun itu juga. Pada tahun 1999 ia memperoleh penghargaan dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara 1999 di Negeri Johor, Malaysia. Sampai tahun 2003 ia menjadi juri selama bertahun-tahun dalam penilaian karya sastra yang dikelola Pusat Bahasa. Puncak penghargaan yang diterimanya adalah anugerah Dr. Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003.

H.B Jassin menyatakan bahwa Taufiq adalah tokoh utama Angkatan '66 dan dan setara dengan Rendra. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada Taufiq bersatu fantasi dan pemikiran, ide dan fakta dalam bentuk bahasa dan gaya yang estetis.

Teeuw (1989:144) menegaskan bahwa Taufiq Ismail itu di samping penyair nyanyi sunyi, juga penyair yang membutuhkan pendengar karena padanya ada pesan yang didasarkan pada keyakinan agama Islam yang kuat dan sekaligus sebagai orang yang selalu melibatkan dirinya dengan sungguh-sungguh kepada masalah sosial politik pada masanya.

Kuntowijoyo dalam pengantar buku Taufiq yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia menyatakan bahwa Taufiq Ismail adalah penyair yang sangat peka dengan sejarah karena riwayat hidup pribadinya memang sarat dengan pengalaman sejarah dan menunjukkan keterlibatan penuh di dalamnya.

Suminto A. Sayuti dalam pidato pengantar pada penganugerahan gelar Dr. Honoris Causa untuk Taufiq Ismail menyatakan bahwa di antara para sastrawan yang prihatin atas situasi dan kondisi pengajaran sastra di Indonesia adalah Taufiq Ismail. Dialah yang menggebrak khalayak pecinta sastra Indonesia melalui penelitiannya yang dirumuskannya dalam pertanyaan "Benarkah Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?" Suminto lebih lanjut menegaskan "Drh. Taufiq Ismail layak ianugerahi doktor honoris causa di bidang pendidikan sastra karena yang bersangkutan telah menunjukkan jasanya yang begitu besar di bidang kebudayaan, khususnya dalam rangka meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra Indonesia, di samping yang bersangkutan juga memenuhi syarat sebagaimana dituntut oleh peraturan perundang-undangan tentang penganugerahan gelar kehormatan di negeri ini".

Dia juga menjadi konsultan Balai Pustaka yang telah diembannya beberapa tahun lalu sambil terus memimpin majalah Horison hingga sekarang.