Puisi Sersan Hasan Karya Taufiq Ismail

San, aku melihatmu sudah berkali-kali rasanya
Paling pertama ketika masa darurat Clash Kedua
Aku masih kanak-kanak engkau sudah bergerilya
Dulu kau tukang cukur di pasar, ayahku bercerita
Kemudian kulihat kau di sebuah gardu jaga
Terlindung dari terik matahari Oktober lima dua
Di ujung sana tampak meriam tank baja
Belakangan setelah empat belas tahun jaraknya
Aku dan kawan-kawan jalan kaki di Ikada
Keluar dari got, sesudah tembakan mereda
Menghitung barikade masihkah ada gunanya
Kita berselisih jalan, aneh umurmu sebegitu juga
Dari lenganmu selintas kau sersan masih tetap saja
Di tangan kananmu karaben tak ada bayonetnya
Menutup kepala ketat melingkar sebuah topi baja
Badanmu basah keringat, aku begitu juga
Mata kita berpapasan memang mungkin kenal di mana
Kita biarkan pertanyaan mengambang di udara
Lalu ada gulungan kawat berduri setinggi manusia
Dipasang mengancam langit melukai cuaca
Adegan sembilan delapan sore pengap peristiwa
Hasan sahabatku lama, umurmu sebegitu juga
Sekilas kulihat lagi engkau bersikap sempurna
Orang-orang berdemo beribu berteriak membahana
Kau dipungkangi 1000 kalimat bertanda seru mencerca
Tidak menjawab, kau jadi pagar tanpa kata
Matamu jauh memandang menyidik cakrawala
Perlukah aku bertanya masihkah engkau bintara
Dan kabarnya kau tidak lagi tinggal di asrama
Pulang dari tugas letih di batas dewan berjaga
Seragam penuh peluh itu kau lepas semua
Kecapekan duduk berkaos oblong tua
Tanpa karaben kini kau tiba-tiba jadi rakyat biasa
Yang luput dari sudut pandang mahasiswa
Kini kau hirup kopi pahit hangat yang kau suka
Seraya memeluk anak-anak kangen bapaknya
Ada yang memijat betis dan telapak kakinya
“Bapak capek ya,” begitu kata Aisa
Ditindih letih kau tertidur begitu saja
Diam-diam kupotret adegan Hasan sekeluarga
Lewat jendela sepuluh senti terbuka
Dengan sudut pengambilan tak diketahuinya
Dalam puisi 57 baris panjangnya
Dan diam-diam aku beri tabik padanya
Tercatatlah ini sebagai salut kedua
Karena yang dulu kulakukan pertama
Dengan badan tegak dada busung sempurna
Sembilan belas enam tiga tahunnya

Kulakukan itu di sebuah musium perjuangan
Di depan gambar Panglima Sudirman.

(1998)


Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama