Puisi Corto Viaggio Sentimentale Karya Acep Zamzam Noor

Corto Viaggio Sentimentale (1)

Kita minum dari gelas yang sama
Dan tertawa bersama-sama. Lantai dingin
Tumpukan daun-daun kuning
Dunia mengelam. Di antara botol-botol kosong
Jalan-jalan lengang itu tersembunyi
Lalu sebuah halilintar
Meledak. Percakapan kita memanjang ke utara
Menjadi rel-rel kereta api
Tanganmu sebuah ruang tunggu yang dingin
Sedang mulutmu pelabuhan. Percakapan kita mekar
Kota-kota bangkit dari embun dan kabut tebal
Gedung-gedung pemerintah bagaikan maut:
Coklat dan kehitaman


Corto Viaggio Sentimentale (2)

Ladang-ladang gandum itu kemudian lenyap
Sebuah gereja tegak dari kegelapan. Kita masih bercakap
Sepasang menara berciuman di udara
Bukit-bukit main catur. Dan kita masih bercakap
Hingga stasiun-stasiun bawah tanah terbakar
Seorang penyair kehilangan buku alamat
Para serdadu mabuk dan mencopot seragam hijaunya
Daun-daun rontok dan membusuk:
Ciuman halilintar memerahkan leherku yang pucat
Pecahan botol bersarang di kelopak mataku
Sebuah gurun terbentang. Jam meleleh
Waktu kehilangan dentang lonceng


Corto Viaggio Sentimentale (3)

Kita masih bercakap juga
Ketika sepasang lilin menari-nari
Di antara kobaran api. Mulutmu semakin lebar
Menelan kapal-kapal asing dan gelombang pasang
Lalu kota pelabuhan paling utara itu menjadi senyap
Pasir-pasir berkilauan seperti kata-kata
Udara dipenuhi garam. Seekor kuda melompat bersama angin
Adalah fantasi ungu kemerahan yang gemetar
Kulihat jari-jari tanganmu memanjang dan memutih
Seperti gaung masa lalu. Kita masih terus bercakap
Tentang tembok-tembok yang retak di sebuah dermaga
Tentang patung-patung dewa tanpa kepala
Tentang tumpahan anggur dan sperma


Corto Viaggio Sentimentale (4)

Italo Svevo, maapkan kiasanku:
Bayi-bayi mungil itu lahir dari rahim dunia
Yang sempit. Di pelipismu sebuah peradaban membara
Perang saudara pecah di mana-mana
Pikiranmu menjadi belantara sekaligus gergaji
Bagi pohon-pohon. Kita masih minum dari gelas yang sama
Percakapan kita semakin anyir bau darah
Halilintar membelah kenanganku
Seribu senapan meletus dekat telinga
Kata-kataku menjelma hujan darah dan madu
Mayat-mayat bangkit dari tanah basah
Seorang perempuan muda bolong punggungnya
Lalu cahaya fajar menyelinap di sana, seperti pencuri

(1992)


Sumber: Di Atas Umbria (1999).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama