Puisi Pertemuan Malam Karya W.S. Rendra

Setelah mereguk getah rembulan tanggal pertama
Aku berjalan tanpa tujuan di dalam hutan.
Kemudian bau gandasuli membuat aku tertegun,
berdiri kaku di tengah semak belukar,
menghentikan nyanyian serangga malam.

Terpancang seperti si Gale-gale
Tanpa pikiran dan perasaan.
Banyak masalah datang bersama
tanpa sebab dan akibat.
Kemurungan menyelimuti diriku.
Seperti kabut menghalang pemandangan.
Itupun tanpa makna.
Tanpa keterangan. Tanpa hubungan.

Bau gandasuli memenuhi paru-paru.
Membanjir ke dalam urat-urat darah.
Bahkan lalu menjadi daging.
Ya, Allah, apakah aku mati sambil berdiri?

Cahaya bulan dan bintang-bintang
Jatuh ke pohon-pohon yang sekedar pohon.
Serangga malam kembali bersuara sekedar suara.
Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa.
Tidak mengapa. Tidak bagaimana.
Sedetik dan seabad apa bedanya.

Tiba-tiba
Dari kegelapan rumpun pohon-pohon jati emas
menyebar bau tembakau yang wangi.
Lalu aku lihat kilatan kacamata.
Lalu kilatan senyum dengan gigi-gigi putih.
Dan kemudian muncul dari kegelapan
sosok tubuh yang gagah berpici hitam
dan mantel malam berwarna coklat tua.
Ayahandaku, paduka muncul tak terduga!

Apakah arti kehadiran anda ini?
Apakah batas antara hidup dan mati
menjadi tipis karena cahaya rembulan?
Aku tidak mengharapkan pertemuan ini.
Aku ikhlaskan anda istirah
di ranjang buaian kematian anda.
Kini, apakah yang akan anda katakan?

Tanpa harapan. Tanpa keinginan.
Aku berdiri terpaku di bumi.
Apakah sebenarnya aku sudah mati?
Dan kini menjadi sebatang gandasuli?

Anda hanya tersenyum
Tanpa berkata sepatah kata.
Kemudian anda melangkah sedikit ke depan
disertai beribu kunang-kunang
yang menerangi pohon-pohon di hutan.
Dan mengiring di belakang anda
kerumunan orang yang berbaju compang-camping.
Para pemulung dan perempuan bunga malam.
Semua tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku.
Ternyata ada juga diantara mereka
Atmo Karpo sang penyamun,
dan Joko Pandan, anaknya yang membunuhnya.
Lalu Fatima yang dizinahi oleh Kasan,
serta Maria Zaitun yang dimakan rajasinga.
Malahan Suto yang selalu mengembara
Sepanjang masa juga ada.
Wahai, ilalang kehidupan setiap jaman!
Wahai, lumut dan kecoak setiap metropolitan!
Wahai, para patriot dunia ketiga yang bersimbah darah!
Semuanya tersenyum
dan melambaikan tangan kepadaku.

Di tengah kemeriahan tanpa suara itu
tercurah hujan air emas dari langit.
Hawa hangat merasuki ubun-ubunku
menjalar ke seluruh badan.
Aku menengadah.
Nampak ibunda turun dari langit
berdiri di puncak pohon yang paling tinggi.
Bau kulit susu dan kulit kuduknya
memenuhi dadaku.
Aku berlutut.
Mengharap ayahanda dan ibunda
mencium keningku. Tapi itu tidak terjadi.
Hujan air emas makin deras tercurah.
Mataku silau. Matakui silau.

Lalu ibunda melambaikan tangan memanggil ayahanda.
Dalam sekejap mata saja rasanya.
Ayahanda dan segenap barisan orang-orang tercinta
membumbung ke langit mengikuti ibunda.
Lenyap ke angkasa raya.

Perlahan-lahan aku bangkit berdiri.
Keluar dari semak belukar.
Aku dengar dengung lebah.
Ayam jantan berkokok.
Asap keluar dari dapur-dapur di desa.
Fajar tiba.

Perempuan terkasih yang gelisah menunggu di rumah!
Anak-anakku yang sedang mengusap mata!
Cucu-cucuku yang sedang bermain air di kamar mandi!
Aku pulang.
Setelah mati di dalam hutan
dan hidup kembali.
(Rumah Sakit Cinere, 5 November 2003)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama