Puisi Di Laut Matamu Karya Adimas Immanuel

Debur ombak menyanyikan kita
yang bergantian menanam nama
di tanah yang tak kunjung membeku
meski air berabad-abad mengutuknya.
Meski lirisnya kepastian seperti firman
di telinga para pendoa: bisa teramat teduh,
bisa menggigilkan perahu yang berlabuh.
Sedangkan kau masih disesah pukau
dari arwah yang mendiami hutan bakau:
kenangan-kenangan lekang,
yang sembunyi di sebungkah karang.
Aku disergap gelisah yang tak kunjung
menua dan terus meremajakan diri.

Bukankah bunyi kumparan waktu,
seperti bising mesin perahu itu?
Kau digentarkan ketidakpastian laju,
meski tahu: cuma kau yang aku tuju.
Tetapi aku tetap membawa: sebuah gergaji,
gelondongan kayu konifer, dan mata parang
yang gagal menyalin ketakutan di mataku.
Sebab aku ingin membuatkanmu perahu,
sebab dinginnya malam seperti berbisik:
"O, kekallah cinta yang bergaram,
wahyu dalam penghabisan kitab laut!"

Kita tak tahu apakah Tuhan
juga tinggal di pulau sesunyi ini.
Tetapi jika memang harus hidup
dikelilingi gelombang tangismu,
aku tahu: kapan harus pergi melaut,
kapan harus jadi kekasih yang penurut.

Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Dukungan


Apakah Anda suka dengan karya-karya yang ada di narakata? Jika iya, Anda bisa memberi dukungan untuk narakata agar dapat tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai dengan nominal yang ingin Anda berikan. Sedikit atau banyaknya dukungan yang Anda berikan sangat berarti bagi kami. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama