Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun, membukakan pintu. Ia tersenyum. "Tak apa, kalau tak ada siang di sini," katanya. Aku segera meletakkan tas. Aku lihat matanya, sebuah pemandangan baru saja mendapatkan sinar. "Bisakah besok kamu jadi ibu rumah tangga," katanya.
Pagi sekali aku bangun. Membereskan seprai. Memasak air. Memandikan anak. Menyapu. Menyusun pot-pot tanaman. Dan banyak urusan lagi untuk menjadi seorang ibu. "Telepon aku jam 12 siang." Masakan apa? Semuanya aku kerjakan, seperti berjalan dari satu kota ke kota lainnya. Nonton film. Memetik jambu. Ada ikan dan kelinci di dapur, pemandangan putih ketika membuat susu. Hingga aku hamil, melahirkan diriku sendiri, membesarkannya. Dan mengerti, kenapa ia memanggil "ibu" kepadaku.
Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun, membukakan pintu. Ia tersenyum. "Kenapa kamu menjadi seorang ibu seperti itu," katanya. Aku peluk bahunya, seperti sebuah kamar, dengan jendela menghadap ke bukit.
(1997)
Sumber: Kalung dari Teman (1999).
Pagi sekali aku bangun. Membereskan seprai. Memasak air. Memandikan anak. Menyapu. Menyusun pot-pot tanaman. Dan banyak urusan lagi untuk menjadi seorang ibu. "Telepon aku jam 12 siang." Masakan apa? Semuanya aku kerjakan, seperti berjalan dari satu kota ke kota lainnya. Nonton film. Memetik jambu. Ada ikan dan kelinci di dapur, pemandangan putih ketika membuat susu. Hingga aku hamil, melahirkan diriku sendiri, membesarkannya. Dan mengerti, kenapa ia memanggil "ibu" kepadaku.
Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun, membukakan pintu. Ia tersenyum. "Kenapa kamu menjadi seorang ibu seperti itu," katanya. Aku peluk bahunya, seperti sebuah kamar, dengan jendela menghadap ke bukit.
(1997)
Sumber: Kalung dari Teman (1999).
