kelam warna puncak samosir
selamat malam, katanya, selamat malam
diam tusam bagai rindang ceri
enaknya makan rujak dingin begini
angin bertenggang dengan bunga melayang
dan ayun cahaya di air rekamkan hari-hari
suatu saat entah di kaki lima entah di warung kopi
atau depan meja (ah, entah di mana-manalah!)
kau berwarna bola gading berbalutkan tipis kaus hitam
yang melonggar lepas meluncuri dataran beludru hijau
sedar diri makin kurus tapi langkah pasti dan hati padu
pada ayun caya di air
begitu saja kau hadir
luruh sinar menggigil tajam menjulang
separuh hati terpenggal tinggal
getar danau dan perahu sarat menyuruk teluk
separuh tubuh di sana terpagut
dan aku tercari-cari pada tebing, pada batu kuyup kering
jika di tengah segala
di mana kau sebenarnya?
betapapun matamu di danau mengerjapkan kelam
sendiriku perjalanan turu-naik, sepatu koyak dan arus
lepas bebas menjadarkan aku letup-ledakan lumpuh menghapus ingatan
tak mampu mencerai kebersihan ucapan
bahwa kita jatuh-bangun tanpa hitung pengorbanan
tegakkan kehidupan tanpa taksir kematian
bicaralah kau yang mau bicara
gunung tandus dan petani yang menghalau ternak
jejak di pantai dan anak perahu
air yang silau karena gersang hari
tak pernah bisu tak kenal kelu
dunia dongengnya dari kakek sampai ke cucu
aku tercari-cari antara yang datang
dan di atas busah-busah pecah deru kota
dering beca, cagakkan speda dan etalase senyumkan warna
kenangan jadi menukik lembah lintas rumah-rumah
villa hampa karena kawat berduri, pagar besi
dan merapung aku di permukaan, telentang
menjamah awan berenda lolong anjing
dari tong demi tong sampah ke segenap pintu malam
kataku padamu: terbanglah hai langit
dan tekan aku ke bongkah-bongkah dasar
monginsidi menanti maut namun aku dan sajak tak ngeri
tapi yang menjeramkan ikan dari bubu
di tangga telanjang sinona permainkan paha
begitu sempit langit oleh kemilau danau
burung tak lalu, mendung dan cerah berkisar diam
tapi baca dan dengarlah apa yang sudah terpacak
pergolakan dada seniman tiada henti oleh mengerti
tentukan sendiri di mana mau berdiri
sipemenang antara kebenaran dan kemenangan
cuma kau, gumpal padu benak dan hati
yang tubuhnya berminyak gersang hari
yang tangannya berkepal bukan karena janji
karena kerja, karena mimpi
silangsiur puncak dan jurang, kota dan duka desa
ah, kalau cerlang danau parut luka yang dilupakan
tangan toh tak gemetar berpaling pada buku harian
di mana hasrat rindang menggoreskan sebaris nama
dan damailah napasmu, o, kenangan pengabisan
senja senja danauku senja
setimbang cinta ibu tua:
kendi dan anak didukungannya
gemuruh motorku kencang
sekeping teluk di pengkolan
kutekan dalam di kantong celana bersama derita semua
bersama bahagia kita semua
karena hati ada pada segala
dan tidurlah sayang, tidurlah danauku senja
tidurlah nyenyak kau yang kutinggalkan
kini kutekan gemetar ditikam curam jurang
karena kristal bertebar oleh sapuan jaman
membikin keteguhan menemu segala tiba
bahwa di manapun aku terlempar
di sana kau terlontar
(Parapat, 1957)
Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959).
selamat malam, katanya, selamat malam
diam tusam bagai rindang ceri
enaknya makan rujak dingin begini
angin bertenggang dengan bunga melayang
dan ayun cahaya di air rekamkan hari-hari
suatu saat entah di kaki lima entah di warung kopi
atau depan meja (ah, entah di mana-manalah!)
kau berwarna bola gading berbalutkan tipis kaus hitam
yang melonggar lepas meluncuri dataran beludru hijau
sedar diri makin kurus tapi langkah pasti dan hati padu
pada ayun caya di air
begitu saja kau hadir
luruh sinar menggigil tajam menjulang
separuh hati terpenggal tinggal
getar danau dan perahu sarat menyuruk teluk
separuh tubuh di sana terpagut
dan aku tercari-cari pada tebing, pada batu kuyup kering
jika di tengah segala
di mana kau sebenarnya?
betapapun matamu di danau mengerjapkan kelam
sendiriku perjalanan turu-naik, sepatu koyak dan arus
lepas bebas menjadarkan aku letup-ledakan lumpuh menghapus ingatan
tak mampu mencerai kebersihan ucapan
bahwa kita jatuh-bangun tanpa hitung pengorbanan
tegakkan kehidupan tanpa taksir kematian
bicaralah kau yang mau bicara
gunung tandus dan petani yang menghalau ternak
jejak di pantai dan anak perahu
air yang silau karena gersang hari
tak pernah bisu tak kenal kelu
dunia dongengnya dari kakek sampai ke cucu
aku tercari-cari antara yang datang
dan di atas busah-busah pecah deru kota
dering beca, cagakkan speda dan etalase senyumkan warna
kenangan jadi menukik lembah lintas rumah-rumah
villa hampa karena kawat berduri, pagar besi
dan merapung aku di permukaan, telentang
menjamah awan berenda lolong anjing
dari tong demi tong sampah ke segenap pintu malam
kataku padamu: terbanglah hai langit
dan tekan aku ke bongkah-bongkah dasar
monginsidi menanti maut namun aku dan sajak tak ngeri
tapi yang menjeramkan ikan dari bubu
di tangga telanjang sinona permainkan paha
begitu sempit langit oleh kemilau danau
burung tak lalu, mendung dan cerah berkisar diam
tapi baca dan dengarlah apa yang sudah terpacak
pergolakan dada seniman tiada henti oleh mengerti
tentukan sendiri di mana mau berdiri
sipemenang antara kebenaran dan kemenangan
cuma kau, gumpal padu benak dan hati
yang tubuhnya berminyak gersang hari
yang tangannya berkepal bukan karena janji
karena kerja, karena mimpi
silangsiur puncak dan jurang, kota dan duka desa
ah, kalau cerlang danau parut luka yang dilupakan
tangan toh tak gemetar berpaling pada buku harian
di mana hasrat rindang menggoreskan sebaris nama
dan damailah napasmu, o, kenangan pengabisan
senja senja danauku senja
setimbang cinta ibu tua:
kendi dan anak didukungannya
gemuruh motorku kencang
sekeping teluk di pengkolan
kutekan dalam di kantong celana bersama derita semua
bersama bahagia kita semua
karena hati ada pada segala
dan tidurlah sayang, tidurlah danauku senja
tidurlah nyenyak kau yang kutinggalkan
kini kutekan gemetar ditikam curam jurang
karena kristal bertebar oleh sapuan jaman
membikin keteguhan menemu segala tiba
bahwa di manapun aku terlempar
di sana kau terlontar
(Parapat, 1957)
Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959).
