Nanti malam ibu akan datang, mengajariku membaca lagi. Rambutnya keriting. Ibu memakai kebaya kalau mengajakku pergi. Dulu kebayanya masih diriwon. Matanya seperti kebun jeruk. Tidak ragu lagi, ibu tidak mati. Aku tidak mengantarnya ke pemakaman. Dia akan datang lagi, pergi bersamaku naik perahu ke Cilincing. Beli sepatu di Cikini. Tapi jam sembilan malam tadi aku tak tahu wajahnya yang terakhir, senyum dan tawanya yang lepas. Ibu seperti menari di atas air. Tubuhnya tambah besar, tambah berat, dipenuhi gula. Ibu bilang sekarang saya orang tanpa daya dan upaya. Ibu bilang setiap orang tidak memiliki apa-apa. Ibu bilang setiap orang akan pergi. Lalu tubuh ibu tambah berat, bersama tanah dan semut-semut. Bersama langit dan kematian nama-nama di keningku. Aku pasang gorden, aku bersihkan kaca jendela dan halaman dari daun-daun kering. Rambut ibu masih keriting. Mata ibu masih kebun jeruk. Seorang kekasih terus menemaniku di situ. Dan ibu akan mengajakku lagi berenang di empang samping rumah. Airnya dingin. Memberi makanan anjing. Melihat dari jendela yang tinggi: pekarangan yang penuh dengan susunan jejakmu. Dan kelambu harus ditutup. Kaki harus dibersihkan. Di luar, tangan malam sedang merusak kebun jeruk.
Sumber: Horison (September, 2000).
Sumber: Horison (September, 2000).
