Puisi Stasiun Tugu Karya Taufiq Ismail

Tahun empat puluh tujuh, suatu malam di bulan Mei
Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan

Keleneng andong terputus di jalan berlinangan
Suram ruang stasiun berada dan tempat menunggu
Truk menunggu dan laskar berlagu-lagu perjuangan
Di Tugu seorang ibu menunggu, 2 anak dipangku

Berhentilah waktu di stasiun Tugu, malam ini
Di suatu malam yang renyai, tahun empat puluh tujuh
Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan
Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh

Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Anak perempuan itu 2 tahun, melengkap dalam pangkuan
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun
Anaknya masih menyanyi "Satu Tujuh Delapan Tahun"

Udara telah larut ketika tanda naik pelan-pelan
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjaga anaknya yang kantuk dalam lena
Berkata : lambaikan tanganmu dan panggillah Bapak

Wahai ibu muda, seharian atap-atap yang kota untukmu berbasah
Karena kelaziman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh republik menunduhkan kepala, nestapa dan resah
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.

(1963)


Sumber: Sajak Ladang Jagung (1973).
Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Dukungan


Apakah Anda suka dengan karya-karya yang ada di narakata? Jika iya, Anda bisa memberi dukungan untuk narakata agar dapat tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai dengan nominal yang ingin Anda berikan. Sedikit atau banyaknya dukungan yang Anda berikan sangat berarti bagi kami. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama