(Mengenang Sjafruddin Prawiranegara)
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jejang atas,
bagai menyaksikan sebuah pentas.
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak,
menggali kembali ingatan pada Agresi Kedua, 1948 tahunnya.
Aku berenang di antara arus kertas kerja, penelitian, bibliografi dan wawancara,
aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan,
kurasa sudah kukenal anatomi dan fisikologi sukmamu wahai sejarah,
tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja.
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu,
menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam,
mereka yang mendirikan negeriku ini,
mereka dahulu cendekia-cendekia sangat belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah negara,
remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata,
operator radio dalam rimba raya,
diplomat-diplomat tanpa sertifikat,
pelaut tiada armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap,
para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemuskilan dalam beribu format.
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus,
sudut tulang rahang jelas kelihatan,
berambut hitam lebat,
memakai pomade yang lengket,
dan aku ingat betul
mereka bercelana panjang model kedomrangan.
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja,
mereka tidak memikirkan uang dan materi
tapi merenungkan dan memperjuangnkan pikiran serta ide.
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini
karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Ilahi,
begitu pula kuingat beribu-ibu manusia Indonesia lain pada zaman itu
yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka
ketika memerdekakan Nusantara,
Mari kita tundukkan kepala sejenak,
pejamkan mata beberapa detik,
dan kita bacakan Al-Fatihah untuk mereka.
Ada suara lalu-lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini,
dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya,
tak kita ketahui dimana adresnya,
mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin
dam memecah tabungan,
mereka itu yang membelikan senjata
dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan.
Aku tak pernah tahu nama mereka,
aku tak pernah melihat wajah mereka
di harian pagi dan sore ibukota,
tidak dalam direktori Apa Siapa,
di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah,
baik sejarah resmi versi yang berkuasa
maupun versi pertikelir atawa swasta.
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keihklasan
yang jadi kerangka semuanya ini?
Mengapa bisa berjuta-juta merionet menari
dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan
yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan
di atas panggung histori,
50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya,
lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya,
tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala mereka
yang cendekia menggeleng perlahan- lahan.
“Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufiq Abdullah,
“sebenarnya tahu sedikit saja,”
Sehabis masa yang dua hari itu, inilah yang kurindukan:
suara zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman dimana kecambah ide dan lalu lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda
tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya,
zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang
pada topeng panggung pementasan,
zaman di mana sikap bersahaja diperebutkan.
(Seminar PDRI, 26 September 1989)
Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000).
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jejang atas,
bagai menyaksikan sebuah pentas.
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak,
menggali kembali ingatan pada Agresi Kedua, 1948 tahunnya.
Aku berenang di antara arus kertas kerja, penelitian, bibliografi dan wawancara,
aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan,
kurasa sudah kukenal anatomi dan fisikologi sukmamu wahai sejarah,
tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja.
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu,
menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam,
mereka yang mendirikan negeriku ini,
mereka dahulu cendekia-cendekia sangat belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah negara,
remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata,
operator radio dalam rimba raya,
diplomat-diplomat tanpa sertifikat,
pelaut tiada armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap,
para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemuskilan dalam beribu format.
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus,
sudut tulang rahang jelas kelihatan,
berambut hitam lebat,
memakai pomade yang lengket,
dan aku ingat betul
mereka bercelana panjang model kedomrangan.
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja,
mereka tidak memikirkan uang dan materi
tapi merenungkan dan memperjuangnkan pikiran serta ide.
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini
karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Ilahi,
begitu pula kuingat beribu-ibu manusia Indonesia lain pada zaman itu
yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka
ketika memerdekakan Nusantara,
Mari kita tundukkan kepala sejenak,
pejamkan mata beberapa detik,
dan kita bacakan Al-Fatihah untuk mereka.
Ada suara lalu-lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini,
dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya,
tak kita ketahui dimana adresnya,
mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin
dam memecah tabungan,
mereka itu yang membelikan senjata
dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan.
Aku tak pernah tahu nama mereka,
aku tak pernah melihat wajah mereka
di harian pagi dan sore ibukota,
tidak dalam direktori Apa Siapa,
di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah,
baik sejarah resmi versi yang berkuasa
maupun versi pertikelir atawa swasta.
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keihklasan
yang jadi kerangka semuanya ini?
Mengapa bisa berjuta-juta merionet menari
dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan
yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan
di atas panggung histori,
50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya,
lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya,
tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala mereka
yang cendekia menggeleng perlahan- lahan.
“Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufiq Abdullah,
“sebenarnya tahu sedikit saja,”
Sehabis masa yang dua hari itu, inilah yang kurindukan:
suara zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman dimana kecambah ide dan lalu lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda
tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya,
zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang
pada topeng panggung pementasan,
zaman di mana sikap bersahaja diperebutkan.
(Seminar PDRI, 26 September 1989)
Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000).