Tahun ini, pada suatu pagi, di tepi jalan yang bersih
Sebuah restoran dengan tenda menjulur ke trotoar
Lalulintas tanpa debu, di suatu musim yang sejuk
Dimana-mana tangan teknologi memahatkan muralnya
Penuh persahabatan dengan pohon, mega dan cahaya
Aku duduk di sini sendiri dengan secangkir minuman
Menyimakkan lalulintas yang sepuluh km per jam
Mengisap pipa, dan mengenangkan
Jalanan ini, langit di atas itu, musik instrumental
Anak-anak dalam pakansi mengerumuni etalase
Kuisap pipa tua ini, setelah menghirup minuman
Daun-daun halus pohon asam, di pinggir jalanan
Bergetar kena angin, berguguran dalam spiral panjang
Dalam hatiku ia mengetukkan kembali
Sebuah nyanyian yang lama hilang
Seorang anak kecil, gadis lima tahun
Terantuk kakinya pada tongkatku yang tersandar
Ibunya mengucapkan maaf, mengangguk dan masuk
Menarik tangan anaknya. Gadis cilik itu menatapku
Sedan biru tengah di parkir depan bank
Aku beri sicilik itu sebuah senyum yang tua
Dia melambaikan tangan kecilnya. Kubalas
Sepasang anak muda, mungkin mahasiswa, memesan minuman
Ketika sepi, jejaka itu meremas tangan gadisnya
Tenda restoran agak mengombak kena angin pagi
Gadis itu, sekitar delapan belas, merah pipinya
Kubuka koran dan kubaca berita-berita dunia ini
Dunia yang gemuruh dan selalu berganti kulit
Dunia yang bertaut luka, dunia yang pedih
Aku berdiri pelahan, meluruskan punggung mulai letih
Menggenggam koran dan tongkat, menyeka rambut yang putih
Berjalan terseret sepanjang trotoar sejuk tanpa debu
Mengenangkan jalanan ini, langit di atas itu
Bangunan teknologi dalam kesejukan spirituil
Lalulintas tanpa debu, pohon-pohon asam yang kecil
Aku berhenti. Bertelekan pada tongkat
Di atas trotoar ini. Di atas bumi Indonesia ini
Aku menunggu 29, mungkin sudah 30 tahun
Biarlah. Itu biasa. Kebudayaan memang minta waktu lama
Seorang supir heran melihatku senyum sendiri
Jalan lagi pelahan. Tidak apa
Lewat 29 sampai 30 tahun. tidak apa
Itu cuma tikungan kecil dalam sejarah
Ada segala duka; dengan semua luka
Tiba-tiba gadis lima tahun itu meneriakkan "Kakek!"
Berlari dengan langkah-langkah alit
Dan menggamitkan pipaku yang tertinggal. Pipa tua itu
Dia terengah-engah. "Kakeek!"
Kutahan kedua bahunya. Dia tersengal
Lalu ketawa kecil. Menunjukkan pipaku
"Ketinggalan dicana" Kuangkat dia
Dan kucium pipinya yang kecil
"Terima kasih ya. Siapa namumu?"
"Jubaedah. Jubaidah. Abdul Kalim"
"Hati-hati jalan di pinggir ya Jubaedah."
Dia lari tidak menoleh lagi, dengan langkah-langkah kecil
Biarlah dia lari. Biarlah
Dia tidak lagi perlu
Tigapuluh tahun menunggu.
(1966)
Sumber: Horison (September, 1968).
Sebuah restoran dengan tenda menjulur ke trotoar
Lalulintas tanpa debu, di suatu musim yang sejuk
Dimana-mana tangan teknologi memahatkan muralnya
Penuh persahabatan dengan pohon, mega dan cahaya
Aku duduk di sini sendiri dengan secangkir minuman
Menyimakkan lalulintas yang sepuluh km per jam
Mengisap pipa, dan mengenangkan
Jalanan ini, langit di atas itu, musik instrumental
Anak-anak dalam pakansi mengerumuni etalase
Kuisap pipa tua ini, setelah menghirup minuman
Daun-daun halus pohon asam, di pinggir jalanan
Bergetar kena angin, berguguran dalam spiral panjang
Dalam hatiku ia mengetukkan kembali
Sebuah nyanyian yang lama hilang
Seorang anak kecil, gadis lima tahun
Terantuk kakinya pada tongkatku yang tersandar
Ibunya mengucapkan maaf, mengangguk dan masuk
Menarik tangan anaknya. Gadis cilik itu menatapku
Sedan biru tengah di parkir depan bank
Aku beri sicilik itu sebuah senyum yang tua
Dia melambaikan tangan kecilnya. Kubalas
Sepasang anak muda, mungkin mahasiswa, memesan minuman
Ketika sepi, jejaka itu meremas tangan gadisnya
Tenda restoran agak mengombak kena angin pagi
Gadis itu, sekitar delapan belas, merah pipinya
Kubuka koran dan kubaca berita-berita dunia ini
Dunia yang gemuruh dan selalu berganti kulit
Dunia yang bertaut luka, dunia yang pedih
Aku berdiri pelahan, meluruskan punggung mulai letih
Menggenggam koran dan tongkat, menyeka rambut yang putih
Berjalan terseret sepanjang trotoar sejuk tanpa debu
Mengenangkan jalanan ini, langit di atas itu
Bangunan teknologi dalam kesejukan spirituil
Lalulintas tanpa debu, pohon-pohon asam yang kecil
Aku berhenti. Bertelekan pada tongkat
Di atas trotoar ini. Di atas bumi Indonesia ini
Aku menunggu 29, mungkin sudah 30 tahun
Biarlah. Itu biasa. Kebudayaan memang minta waktu lama
Seorang supir heran melihatku senyum sendiri
Jalan lagi pelahan. Tidak apa
Lewat 29 sampai 30 tahun. tidak apa
Itu cuma tikungan kecil dalam sejarah
Ada segala duka; dengan semua luka
Tiba-tiba gadis lima tahun itu meneriakkan "Kakek!"
Berlari dengan langkah-langkah alit
Dan menggamitkan pipaku yang tertinggal. Pipa tua itu
Dia terengah-engah. "Kakeek!"
Kutahan kedua bahunya. Dia tersengal
Lalu ketawa kecil. Menunjukkan pipaku
"Ketinggalan dicana" Kuangkat dia
Dan kucium pipinya yang kecil
"Terima kasih ya. Siapa namumu?"
"Jubaedah. Jubaidah. Abdul Kalim"
"Hati-hati jalan di pinggir ya Jubaedah."
Dia lari tidak menoleh lagi, dengan langkah-langkah kecil
Biarlah dia lari. Biarlah
Dia tidak lagi perlu
Tigapuluh tahun menunggu.
(1966)
Sumber: Horison (September, 1968).