Bunga yang kusenangi kupasang di jendela
daun pintu terbuka
kursi lengang dekat meja
lagi kupanggil namanya di lorong rata
menjauh langkah tergesa
bergema hampa
Lampu di kamar tetap menyala
tumpah di pangkuan surat lama
lonceng mati di angka tiga
masih yakin dia ada
tinggal aku diam terjaga
pagi rebah di pinggir desa
Sinar hari membelah ruang
rumah kosong nampak tua
hiasan dinding tanpa guna
di pantai kembali surut air kelam
ke lubuk laut entah di mana
betapa dalam sunyi menikam
Tikar pandan terhampar di lantai
sandal sepasang tak terpakai
kopi di cangkir belum tersentuh
berapa lama harus bersimpuh
menanti sapa di mulut pintu
ucapan salam kepadaku
Semua sudah bersih di dalam
pakaian putih terlipat di tilam
badan siap menyambut dia yang diharap
ingin diri meniarap lata
berteriak seru mari
tapi setiap terbilang kata
bayangan hening lari
Tubuhku rumah yang butuh dihuni
suasana hampa damba akan isi
air tenang menangis di rongga sunyi
apatah kehadiran tanpa dihadiri
kemanusiaan minta saksi
lonceng bergoyang sebelum mati
Telah kusisir rambutku kusut
kaca bening tergantung di sudut
asal saja pecah hening ini
dibawa berbincang sepanjang pagi
atau diam pandang-memandang mengajuk hati
tamu, datanglah datang
Seandainya datang, aduh
kubasuh kakinya sambil berdendang
kusupkan nasi dengan tangan sendiri
kesendirian begitu ngeri
setiap dia memalingkan wajahnya ke mari
aku akan memekik girang ya aku di sini
Tak terlarai aku dan dia
darat dan laut saling memadai
hamba dan tuan berkait abadi
sudah terdengar ombak berdebur di karang
sayup-sayup memanggil suara tersayang
lekas ke pantai aku menjelang.
Sumber: Hari dan Hara (1982).