Puisi Kenangan Karya Sanusi Pane

Kenangan timbul pelbagai warna, pelbagai rupa,
Membuat keluar keluh kesah dari dadaku,
Teringat aku dirundung malang bukan salahku
Terkenang kehilangan suluh, kehilangan puspa.

Mengapa bunga sebelum kembang terpetik gerangan,
Belum sampai memuaskan hati, menyenangkan mata,
Mengapa aku baharu muda dapat petaka,
Habis harapan berbagia di sisi tunangan?

Di dunia bayang, tidak ada jadi penglipur
Jiwa adinda duduk terpaku mengingat untung,
Menangisi kita tidak diberi menjadi satu.

Seperti aku sampai sekarang setiap waktu,
Awan kedukaan hitam muram jadi kelubung
Hidup lelah, sebelum mati telah berkubur.

Seorang diri mengembara aku selalu,
Di dalam lembah tempat beta pertama kali,
Dipaksa waktu melahirkan cinta berahi
Merasa badanmu pada dadaku hilang malu.

Membawa ke seberang sungai engkau kuangkat,
Memeluk engkau aku lupa akan diriku.
Engkau kucium tidak insyap akan fi’ilku.
Seperti gelora cinta terikat.

Pergi ke lembah menyayat hati melemahkan tulang,
Membuat daku tidak sanggup bekerja selalu
Membuat kenangan tak dapat dihapuskan waktu.

Ah, adinda, mengapa tuan sudah berpulang,
Sebelum rumah kita pilih serta hiasi,
Tempat kita berangan-angan, kita diami?

Aku meminta kepada rupa bayang bengis
Membawa ke negara sana, ke sebelah kubur,
Tempat adinda selalu duduk hanya tepekur,
Menanti daku supaya sama meratap tangis.

Atau barangkali tak ada kehidupan baka,
Bersua kembali hari kudian hanya mimpi,
Pendapatan saja supaya ada bujukan hati,
Supaya ada jadi penawar malapetaka?

Permainan gerang kehidupan dibuat Dalang,
Jadi periang hati sendiri, bukan membela
Mengatur semua tak tetap, bermaraja lela.

Jikalau benar tidak kepalang rundungan malang
Harapan habis akan bersua sekali lagi,
Apa gerangan gunanya hidup walaupun mati.

Sinar bermain di lereng gunung,
Di dalam lurah, di atas padang.
Dengan girangnya suara burung,
Di dalam kebun, di atas ladang.

Sunting bunga menghiasi sanggul
Selendang di bahu melambai-lambai,
Diiringi pemuda bawa cangkul,
Perawan ke sawah tertawa ramai.

Keadaan beredar dengan pagi:
Malam hilang digantikan siang.
Setelah masgul alam pun riang.

Tidak dapat dibimbangkan lagi:
Mimpi buruk kehidupan sekarang,
Dalam akhirat bah'gia datang.


Sumber: Madah Kelana (1931).
Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol traktir di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama