Sanusi Pane dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan pada tanggal 14 November 1905. Ia adalah kakak kandung Armijn Pane. Sanusi pane mengawali pendidikannya di Hollands Inlandse School (HIS) di Padang Sidempuan dan Tanjungbalai. Setelah itu, ia melanjutkan ke Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga dan kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang dan di Jakarta. Ia tamat dari MULO pada tahun 1922. Selanjutnya, dia belajar di Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) Gunung Sahari, Jakarta sampai tamat, tahun 1925, dan langsung diangkat menjadi guru di sekolah itu sampai tahun 1931. Pernah pula Ia mengikuti kuliah di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Kehakiman) selama satu tahun. Pada tahun 1929--1930 dia melawat ke India untuk memperdalam kebudayaan Hindu (Nasution. 1963).
Pada waktu dia bekerja di Balai Pustaka dia menolak untuk diantar jemput. Dia memilih berjalan kaki. Segala tawaran yang diberikan kepadanya dibiarkan begitu saja tanpa jawaban. Sering dia membiarkan jatah berasnya membusuk di gudang karena tidak diambil. Bahkan, selama bekerja dia tidak pernah mengurus kenaikan pangkatnya sehingga sampai pensiun pangkatnya tetap sama.
Pada suatu ketika istrinya merasa cemas dengan kehidupan Sanusi Pane yang harus membiayai enam orang anak. Istrinya mencoba menyadarkan Sanusi Pane agar memikirkan nasib anaknya pada masa datang. Sanusi Pane selalu menjawab, “Kita toh belum kelaparan. Kita toh belum jadi gelandangan, kita toh masih bisa berpakaian.”
Dalam kehidupannya, Sanusi Pane tidak dapat dipisahkan dengan alam. Hal itu dapat diperhatikan dalam polemiknya dengan Sutan Takdir Alisyahbana (Pujangga Baru, April 1937) yang mengatakan bahwa di dunia Barat orang harus bekerja keras untuk menaklukkan alam. Orang harus berusaha mempertahankan diri untuk mengusai alam itu. Akibatnya, orang lebih mengutamakan jasmani sehingga timbul materialisme dan individualisme. Tidak demikian halnya dengan di Timur. Orang tidak usah bersusah payah berupaya untuk menaklukkan alam karena alam di Timur tidak sekeras di Barat. Di Timur manusia sudah merasa satu dengan alam sekelilingnya.
Intelektualisme dan individualisme tidak begitu penting. Orang Timur tidak mementingkan segi jasmani. Namun, Hal itu bukan berarti bahwa derajat bangsa yang setinggi-tingginya itu dapat dicapai oleh lapisan yang berpusatkan kenyataan Manusia bersatu dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya dan membersihkan jiwanya. Pandangan tersebut mewarnai sikapnya terhadap hal-hal yang bersifat jasmani. Oleh karena itu, Sanusi tidak pernah membanggakan apa yang telah ia perbuat. Dia selalu bersifat merendah meskipun sebenarnya hasil karyanya patut dibanggakan.
Ketika J.U. Nasution ingin menulis buku tentang karya Sanusi Pane, ia tidak berhasil mewawancarainya meskipun Nasution telah berulang-ulang mencobanya. Setelah Nasution bertemu dengan Sanusi, Sanusi selalu mengatakan. “Saya bukan apa-apa... ... saya bukan apa-apa... " (Nasution, 1963). Jawaban itu menggambarkan bahwa Sanusi Pane merasa dirinya belum berbuat sesuatu yang patut dihargai.
Menurut istri Sanusi Pane, pada waktu Presiden Soekarno akan memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepada suaminya, Sanusi Pane menolak. Tentu saja istrinya terkejut. Sanusi Pane memberikan jawaban sebagai berikut: "Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa."
Dalam keyakinan agama hindu, penghargaan semacam itu adalah kebanggaan yang bersifat jasmani yang justru harus dihindari dalam upaya mencapai manusia tingkat tinggi. Dengan kata lain, jika manusia tidak mampu melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dia tidak akan dapat mencapai kebahagiaan yang sejati dalam alam baka nanti. Penolakan Sanusi Pane atas pemberian Satya Lencana itu menunjukan bahwa ajaran keyakinan agama Hindu sudah merasuk ke dalam sanubari Sanusi Pane, meskipun dia dilahirkan dari keluarga yang beragama Islam, bahkan adiknya, Prof. Drs. Lafran Pane, adalah pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ketika Sanusi Pane akan meninggal, dia berpesan agar jenazahnya diperabukan sebagai pujangga Hindu yang telah terdahulu. Permintaan itu tidak dikabulkan oleh keluarganya karena menyalahi ajaran agama Islam. Selama kurang lebih dua tahun Sanusi Pane menemukan jalan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan sejati. Dia mengalami sendiri kehidupan tanah asal agama Hindu. Dia hidup di tanah “mulia".
Menurut Sanusi Pane, di tanah itu dia penuh kedamaian sehingga ajaran Hindu benar-benar merasuk ke dalam hatinya. Tidak heran kalau dia pernah pantang makan daging karena agama Hindu mengajarkan untuk menyayangi sesama makhluk, termasuk binatang. Kalau orang menyayangi binatang, sebagai konsekuensinya, orang itu harus pantang makan dagingnya. Hal itu benar-benar diamalkan Sanusi Pane dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran agama Hindu itu begitu lekatnya dengan kehidupan Sanusi Pane sehingga masalah keduniaan tidak begitu ia perhatikan. Pekerjaan mengajar itu dijalaninya selama lebih kurang enam tahun (1925–1931).
Dalam sastra Indonesia, Sanusi Pane dikelompokkan sebagai sastrawan sebelum perang. Namun, Sebagai seorang sastrawan sebelum perang. Sanusi Pane tidak setenar adiknya, Armijn Pane, yang cukup terkenal lantaran romannya Belenggu.
Menurut J.U. Nasution, Sanusi adalah penulis terbesar pada masa sebelum perang atau masa Angkatan Pujangga Baru. Selain penulis drama, Sanusi Pane juga dikenal sebagai penulis puisi. Nama Sanusi Pane tetap terukir dalam sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II, baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama. Di samping itu, dia termasuk salah seorang tokoh pendiri Angkatan Pujangga Baru. Sanusi Pane menjadi pembantu utama.
Pada masa gerakan Pujangga Baru ada perubahan yang cukup mencolok dibandingkan dengan angkatan sebelumnya mengenai pandangan orang terhadap kebudayaan Indonesia. Perbedaan pandangan itu menimbulkan polemik yang cukup seru. Polemik itu melibatkan tokoh kenamaan, seperti Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, Sutomo, M. Amir, Adinegoro, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Sanusi Pane. Karangan yang muncul dalam polemik dari para ahli kebudayaan itu dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja (1977) menjadi sebuah buku yang berjudul Polemik Kebudayaan.
Dalam banyak hal Sanusi Pane bertentangan dengan Sutan Takdir Alisyahbana. Takdir yang lebih banyak condong ke Barat mempunyai semboyan bahwa hidup harus selalu berjuang. Hidup harus bekerja keras. Tanpa menyadari dan melaksanakan hal itu, orang tidak akan maju, tidak akan bisa menjadi manusia yang modern. Sanusi Pane lebih mengutamakan ketenangan dan kedamaian. Hal itu oleh Takdir dianggap sebagai hal yang melembekkan. Semboyan tenang dan damai membelenggu orang menjadi tidak maju.
Tampaknya aliran pikiran Hindu menyatu dalam diri Sanusi Pane. Orang Hindu beranggapan bahwa dunia ini adalah maya, kosong belaka. Untuk apa orang harus berlomba menguasai dunia yang sebenarnya hanya semu belaka. Mereka beranggapan bahwa ruh manusia di dunia ini diciptakan dari ruh dunia, ruh yang universal. Dia akan meresap kembali dengan ruh dunia itu. Di sanalah kebahagiaan itu akan dicapai manusia jika dia berhasil memisahkan diri dengan hal-hal yang bersifat materi.
Semboyan Sanusi Pane yang lebih mengutamakan ketenangan dan kedamaian itu tampaknya terjelma pada hampir semua hasil karyanya, baik yang berupa puisi maupun drama. Itulah sebabnya dia dikenal sebagai pengarang romantik. Dia merenungi kejayaan dan kemegahan serta kedamaian masa lampau. Dia merenungi kedamaian yang didendangkan alam sekitar. Alam tidak hanya sebagai lambang, tetapi juga sebagai objek pengubahan sajak-sajaknya yang mendendangkan alam, misalnya, “Sawah, “Teja”, dan “Menumbuk Padi”.
Dalam buku kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madah Kelana, jiwa keromantikan mewarnainya. Banyak kita jumpai sajak-sajak percintaan yang cukup romantis, “Angin”, “Rindu”, “Bagi kekasih”, ‘Kemuning”, dan “Bercinta”. Sajak yang terbesar yang terdapat dalam Madah Kelana, yakni “Syiwa Nataraja” adalah sajak yang melukiskan keinginan pengarang untuk bersatu dalam alam. Tampaknya ketika dia menciptakan sajak itu, dia mengeluarkan segala kekuatannya sehingga menghasilkan sajak yang sebesar itu. Di samping itu, masih banyak lagi kita jumpai sajak yang senapas dengan itu, misalnya, “Awan”, “Penyanyi”. “Pagi”, “Damai", dan “Bersila”. Hal itu membuktikan keyakinan Sanusi Pane bahwa manusia harus bersatu dengan alam.
Sanusi Pane di samping sebagai penyair, ia juga sebagai penulis drama. Sebagai penulis drama, dia merupakan penulis terbesar pada masa sebelum perang. Dia telah menulis dua drama dalam bahasa Belanda yang berjudul Air Langga dan Enzame Garoedavlucht dan tiga buah dramanya dalam bahasa Indonesia yang berjudul Kertajaya, Sandyakala Ning Majapahit, dan Manusia Baru. Drama Sanusi Pane yang berjudul Kertajaya merupakan cerita tragedi yang mengingatkan kita pada cerita Romeo and Juliet karya pujangga Inggris, Shakespeare, atau cerita Pranacitra dan Rara Mendut (Jawa), Jayaprana dan Layonsari (Bali). Drama itu ditutup dengan matinya dua tokoh utama, Dandang Gendis (Kertajaya) dan Dewi Amisani dengan cara bunuh diri. Suatu penyelesaian yang sangat berbeda kalau kita bandingkan dengan fakta yang dikemukakan oleh ahli sejarah tentang nasib Kertajaya sebagai Raja Kediri.
Stutterheim, misalnya. menyatakan bahwa Kertajaya mengasingkan diri sebagai petapa. Lain halnya dengan Krom, dia mengatakan, bahwa, setelah Kertajaya kalah dalam pertempuran di Garner, dia hilang, tidak jelas kepergiannya, mungkin mati atau melarikan diri. Sastrawan mempunyai kebebasan dalam menafsirkan suatu peristiwa. Sastrawan bukan pencatat peristiwa sejarah. Sebagaimana sastrawan Sanusi Pane memberi tafsiran yang berbeda dengan kedua ahli sejarah di atas. Dia memilih cara sendiri untuk mengakhiri cerita itu dengan mematikan tokoh utamanya. Kedua tokoh utama dalam cerita itu mati dengan cara bunuh diri.
Apa yang diceritakan oleh Sanusi Pane dapat kita maklumi karena dia adalah pengarang yang berjiwa romantik. Fantasi romantiknya yang mendorong pengarang untuk mengakhiri ceritanya dengan tetesan air mata. Hal yang sama dilakukannya pula dalam dramanya yang berjudul Sandyakala Ning Majapahit.
Adegan pertama dalam drama Sanusi Pane yang berjudul Kertajaya sudah menunjukkan kekhasan Sanusi sebagai pengarang romantik. Dialog kedua tokoh utama cerita itu merupakan wujud lahir jiwa romantik pengarang. Pengambilan latar di lereng Gunung Wilis yang dihiasi kicauan burung, suara angin yang berhembus dan ayam yang berkokok sangat mendukung suasana romantis yang diinginkan pengarang.
Dari jawaban kisah cinta Dandang Gendis (Kertajaya) dan Dewi Amisani itu kita ketahui bahwa lukisan cinta seperti itu terlalu dilebih-lebihkan pengarang. Orang bersusah payah mencari nirwana melalui buku atau guru yang sampai mati pun sering tidak menemukannya. Akan tetapi, Dandang Gendis menemukan nirwana di mata kekasihnya, Dewi Amisani. Dandang Gendis menyamakan nirwana dengan kekaksihnya. Meskipun drama itu ditulis tahun 1938 (drama ini dimuat pertama kali pada majalah Poedjangga Baroe, Tahun VI, No.3, bulan Desember 1938) lukisan semacam itu tetap terasa berlebihan. Hal itu membuktikan pengaruh romantik yang sangat kuat dalam diri Sanusi Pane.
Dorongan hati untuk menciptakan cerita yang mengharukan, yang dapat mencucurkan air mata bagi pembaca atau penonton, masih terlihat dalam drama Sanusi Pane yang berjudul Sandyakala Ning Majapahit. Akhir cerita drama itu lain sekali dengan buku yang dijadikan dasar penulisan cerita itu, yakni Serat Damarwulan. Sanusi Pane mengatakan bahwa sebagai dasar penulisan drama Sandyakala Ning Majapahit adalah Serat Damarwulan dan cerita Raden Gajah yang terdapat dalam Pararaton. Cerita Damar Wulan diakhiri dengan kebahagiaan. Keberhasilan Damar Wulan membawa kepala Menak Jingga ke Majapahit menyebabkan dia menduduki tahta kerajaan serta dinikahkan dengan sang ratu. Damar Wulan bergelar Prabu Brawijaya serta hidup dengan kejayaannya. Sebaliknya, Sandyakala Ning Majapahit diakhiri dengan peristiwa yang tragis.
Di samping Damar Wulan tidak dinikahkan dengan Ratu Majapahit, dia juga dituduh sebagai pengkhianat. Tuduhan itu mengakibatkan Damar Wulan dihukum mati. Sepeninggal Damar Wulan, kerajaan Majapahit diporakporandakan balatentara dari Kerajaan Bintara. Drama Sanusi Pane yang terakhir berjudul Manusia Baru. Drama itu dibuat pertama kali dalam majalah Poedjangga Baroe, tahun VIII, No. 5, November 1940. Tujuh tahun setelah dramanya yang berjudul Sandhyakala Ning Majapahit, Sanusi Pane kembali menulis drama Manusia Baru. Masa tujuh tahun itu sudah cukup bagi Sanusi Pane untuk menghasilkan ide baru yang berbeda dengan ide yang dituangkannya dalam puisi dan drama sebelumnya. Dalam kurun waktu itu pula dia berhasil mengungkapkan konsep manusia baru, manusia yang dapat mencapai kebahagiaan lahir batin, kebahagiaan dunia akhirat atau insan kamil. Manusia semacam itu, menurut Sanusi Pane, tidak hanya mementingkan hal-hal yang bersifat rohani belaka.
Dunia tidak lagi dianggap “jahat” yang perlu dijauhi dan dihindari sebab menghindari dunia, hidup tidak bisa dipertahankan. Manusia hidup pada zaman modern harus bekerja keras dan mau menaklukkan dunia, seperti tokoh Faust ciptaan Gothe. Akan tetapi, manusia modern harus tetap memiliki budi yang luhur, religius, dan cinta sesama manusia sebagaimana dimiliki oleh Arjuna ciptaan Empu Kanwa. Jika manusia belum dapat memadukan dua pribadi itu dalam dirinya, dia bukan manusia modern yang diidealkan Sanusi Pane.
Di dalam Manusia Baru Sanusi Pane tidak lagi tenggelam ke dalam kejayaan dan kemegahan pada masa silam. Dia tidak lagi mengagungkan apa yang telah dicapai oleh nenek moyang, sementara dirinya tidak berprestasi. Hal itu bukan berarti mengabaikan dan tidak mencintai karya agung warisan leluhur. Yang lama tetap agung dan berharga. Akan tetapi, manusia sekarang harus hidup pada masa sekarang serta mampu memandang kehidupan jauh ke depan. Dari yang lama manusia sekarang dapat mengambil manfaatnya selama dapat dimanfaatkan. Manusia sekarang harus pandai menyaring pengaruh dari warisan lama, termasuk budaya dari asing. Itulah “manusia baru” yang diidealkan oleh Sanusi Pane dalam dramanya yang berjudul Manusia Baru.
Tokoh Rama atau Rama Rao adalah simbol seniman pada umumnya yang masih terpesona keagungan masa silam. Dia berhasil disadarkan oleh Das atau Surendranath Das untuk bangkit sebagai manusia baru. Seniman baru yang harus hidup penuh semangat memandang jauh ke masa depan. Seniman yang masih terikat oleh masa silam akan menghasilkan karya yang layu, beku, kabur, mati, dan tidak berjiwa. Ide manusia yang ditampilkan Sanusi Pane dalam drama itu mencakup pula emansipasi wanita. Emansipasi tampak pada akhir ceritanya. Tokoh Saraswati atau Saraswati Wadia, anak ketua Perkumpulan Industri Tenun Madras, bangkit dari kungkungan adat lama. Adat lama mengatur bahwa anak gadis harus ditunangkan sejak kecil. Demikian juga Saraswati, dia ditunangkan sejak masih balita, sejak masih berumur empat tahun, peristiwa yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Saraswati. Dia tidak mau hidup bagaikan dalam sangkar, sebentar dilepaskan, kemudian dimasukkan kembali. Dia memberontak semua itu. Pertemuan antara Saraswati dan seorang penganjur pemogokan kaum buruh, Surendranath Das, menyadarkan jiwanya untuk ikut bangkit sebagai manusia baru. Saraswati mengagumi watak dan pemikiran Surendranath Das. Bahkan, dia mencintai Das dan harus meninggalkan tunangan lamanya. Sudah barang tentu keluarganya tidak menyetujui hubungan itu. Karena dalam peristiwa pemogokan kaum buruh itu Das adalah musuh keluarga Saraswati.
Ketika Das akan pergi meninggalkan Madras, Saraswati bertekad akan tetap mengikuti Das pergi. Dia meninggalkan adat lama; dia meninggalkan keluarganya. Dia lakukan semua itu demi cintanya kepada Das, demi kemajuan bangsanya, dan demi kemajuan manusia, manusia baru. Kisah cinta Saraswati dan Das yang ditampilkan Sanusi Pane dalam drama Manusia Baru menarik karena kisah cinta kedua tokoh itu mirip dengan kisah cinta pengarangnya.
Ketika Sanusi Pane melamar kekasihnya, pihak keluarga perempuan meminta boli (mahar) sebesar tiga ribu gulden. Permintaan itu terlalu besar sehingga tidak terbayar oleh Sanusi Pane. Sebenarnya permintaan boli sebesar itu merupakan penolakan secara halus. Apa reaksi Sanusi Pane atas permintaan itu? Sanusi Pane mengajak kekasihnya melakukan marlojong (kawin lari). Namun, calon mertua mengetahuinya sehingga boli sebesar tiga ribu gulden dibatalkan dan hanya diminta membayar boli sebesar tiga ratus gulden. Perkawinan dilaksanakan dengan boli sebesar tiga ratus gulden, tetapi diketahui bahwa uang sebesar itu merupakan uang pinjam. Mertua pulalah yang akhirnya membayar utang menantunya itu.
Sanusi Pane meninggal dunia tanggal 2 Januari 1968. Ia meninggalkan seorang istri dan enam orang anak tanpa meninggalkan kekayaan yang berupa materi sedikit pun, bahkan rumah pun tak dimilikinya. Karya: a. Prosa Lirik (1) Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926) b. Puisi (1) Puspa Mega (kumpulan), Jakarta: Balai Pustaka, (1927) (2) Madah Kelana (kumpulan), (Jakarta: Balai Pustaka, 1931, 1950, dan Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, 1978) c. Drama (1) Airlangga (berbahasa Belanda), (1928) (2) Eenzame Garoedavlucht (berbahasa Belanda) (1929) (3) Kertajaya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1932, Pustaka Jaya, 1971, dan 1987) (4) Sandyakala Ning Majapahit, (Jakarta: Balai Pustaka, 1933 dan Pustaka Jaya, 1974) (5) Manusia Baru, (Jakarta: Balai Pustaka, 1940) d. Terjemahan Arjuna Wiwaha. (Jakarta: Balai Pustaka, 1940, 1949 dan Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan daerah, 1978) e. Bunga Rampai Bunga Rampai dari Hikayat Lama (Jakarta: Balai Pustaka, 1946) f. Sejarah (1) Sejarah Indonesia. (1942, 4 jilid) (2) Sejarah Indonesia Sepanjang Masa, (1952)
Sumber: https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3316/sanusi-pane.