Dulu, sebagai hambar, kubakar dupa supaya
pakaianku harum dan indah. Kini, sebagai musafir
kubakar wajahku untuk melupakan dunia.
Ryonen
Betul, Guru, telah kubakar wajahku
supaya kau mantap mengajariku, melupakan
asal nama dan sekerat daging gelap dalam tubuhku.
Kumasuki biaramu dengan bibir gosong dan mata kosong
supaya kau tunjukkan aku lelaku sebiji batu
yang telah menempuh bara dan abu/
Tidak. Bara dan abu telah ditempuh burung-burung getun
ketika mereka mengumpulkan daun-daun majnun
untuk menyusun unggun.
Ketika burung-burung getun itu
mencari terbang yang lebih tenang
seperti debu atau bulu tanpa diganduli gaung dan gurung.
Ketika burung-burung itu membubung
Seperti mengusir sisa mendung. Tahan kaki-kaki airmu
lantaran rintikmu tak sederas rancak sepiku/
Tidak. Tidak, Guru. Sepi dan semua amsal sedih
kini gosong, setelah kubakar wajahku
dengan batang besi merah marong itu.
Ketika batang besi marong itu menyentuh wajahku
wahai, Guru, kubayangkan itulah sang neraka
yang pertama dan terakhir untukku.
Kubayangkan juga jenglot, begejil, dan hantu-hantu
jadi gosong, seperti codot-codot tua yang berduka
tatkala menguntit langkahku:
wahai, lihatlah wujud kami, telah kami tanggalkan
takir terang, agar kami menjadi pembeda
seperti sisi malam dan sisi siang.
Tidak. Begejil dan hantu-hantu tahu
tak ada malam dan siang sebetulnya. Mereka
cukup tengil menangkal tipu-daya si matahari.
Seperti semut dan lumut yang tak terlipur oleh tidur:
semut-semut terus merambat, mencari serbuk malam
yang membuat kulitnya legam.
Sedang lumut-lumut tumbuh dengan lembut
seperti berbulu bulan yang berombak
memantulkan wajah si matahari retak.
Sementara anjing itu, Guru, terus menyalak ke luas arsy.
Namun, dengan begitu, anak-anak ayam kian awas
kucing-kucing juga kian mawas.
Beriring gunjing merekalah aku sampai di biaramu
untuk kali ketujuh. Tapi kenapa kau tetap bengong
menatap gosong wajahku, Guru?
Enam puluh kali mataku melihat alur musim gugur
kini ajari aku mendengar gemerisik pohon-pohon
saat angin tak terhambur…
(2016)
pakaianku harum dan indah. Kini, sebagai musafir
kubakar wajahku untuk melupakan dunia.
Ryonen
Betul, Guru, telah kubakar wajahku
supaya kau mantap mengajariku, melupakan
asal nama dan sekerat daging gelap dalam tubuhku.
Kumasuki biaramu dengan bibir gosong dan mata kosong
supaya kau tunjukkan aku lelaku sebiji batu
yang telah menempuh bara dan abu/
Tidak. Bara dan abu telah ditempuh burung-burung getun
ketika mereka mengumpulkan daun-daun majnun
untuk menyusun unggun.
Ketika burung-burung getun itu
mencari terbang yang lebih tenang
seperti debu atau bulu tanpa diganduli gaung dan gurung.
Ketika burung-burung itu membubung
Seperti mengusir sisa mendung. Tahan kaki-kaki airmu
lantaran rintikmu tak sederas rancak sepiku/
Tidak. Tidak, Guru. Sepi dan semua amsal sedih
kini gosong, setelah kubakar wajahku
dengan batang besi merah marong itu.
Ketika batang besi marong itu menyentuh wajahku
wahai, Guru, kubayangkan itulah sang neraka
yang pertama dan terakhir untukku.
Kubayangkan juga jenglot, begejil, dan hantu-hantu
jadi gosong, seperti codot-codot tua yang berduka
tatkala menguntit langkahku:
wahai, lihatlah wujud kami, telah kami tanggalkan
takir terang, agar kami menjadi pembeda
seperti sisi malam dan sisi siang.
Tidak. Begejil dan hantu-hantu tahu
tak ada malam dan siang sebetulnya. Mereka
cukup tengil menangkal tipu-daya si matahari.
Seperti semut dan lumut yang tak terlipur oleh tidur:
semut-semut terus merambat, mencari serbuk malam
yang membuat kulitnya legam.
Sedang lumut-lumut tumbuh dengan lembut
seperti berbulu bulan yang berombak
memantulkan wajah si matahari retak.
Sementara anjing itu, Guru, terus menyalak ke luas arsy.
Namun, dengan begitu, anak-anak ayam kian awas
kucing-kucing juga kian mawas.
Beriring gunjing merekalah aku sampai di biaramu
untuk kali ketujuh. Tapi kenapa kau tetap bengong
menatap gosong wajahku, Guru?
Enam puluh kali mataku melihat alur musim gugur
kini ajari aku mendengar gemerisik pohon-pohon
saat angin tak terhambur…
(2016)