Berlin berteriak
dalam bengis sirene
Kau tersentak:
“Jangan tinggalkan aku di Friedrichstrasse”
Kucium pelupukmu, kelopak yang gelap
di kaca etalase:
Kenapa luka itu tak pernah nampak
seusai berita dan parade?
Pohon-pohon linden sebelum Mei
seperti rangka, seperti berdiri,
nyeri, di kamp tahun ‘42
pagi hari.
Kulihat rautmu yang turki,
rambutmu yahudi
Berlinmu yang lain,
setelah aku pergi
Aku pun bertanya, bisakah kita berlindung
pada senja yang tak memihak,
pada malam sejenak,
dan metamorfose?
Berlin hanya berteriak
hanya berteriak
dalam serak
dan bengis sirine.
1994-1996
Sumber: Jendela Sastra.
dalam bengis sirene
Kau tersentak:
“Jangan tinggalkan aku di Friedrichstrasse”
Kucium pelupukmu, kelopak yang gelap
di kaca etalase:
Kenapa luka itu tak pernah nampak
seusai berita dan parade?
Pohon-pohon linden sebelum Mei
seperti rangka, seperti berdiri,
nyeri, di kamp tahun ‘42
pagi hari.
Kulihat rautmu yang turki,
rambutmu yahudi
Berlinmu yang lain,
setelah aku pergi
Aku pun bertanya, bisakah kita berlindung
pada senja yang tak memihak,
pada malam sejenak,
dan metamorfose?
Berlin hanya berteriak
hanya berteriak
dalam serak
dan bengis sirine.
1994-1996
Sumber: Jendela Sastra.