Aku ingat pertama kali melihatmu.
Kau masuk ke dalam hidupku tanpa permisi, berputar bagai gasing di dalam pikiranku.
Entah kau milik siapa, hatiku keras kepala.
Ceritakanlah tentang harimu.
Berbincanglah sampai salah satu dari kita tertidur.
Aku tidak akan bosan dengan semua yang kau ketik.
Betapa sering aku menduga-duga, adakah kode yang tersirat dalam kolom chat kita?
Aku, tidak mau berdrama, tapi aku tidak bisa mengeluarkanmu dari kepalaku.
Aku tergila-gila hingga tak tahu lagi mesti berbuat apa.
Ini semacam hasrat purba yang lebih tua dari manusia.
Jika kau percaya akan “jodoh”, mungkin ini adalah contohnya.
Dan aku tidak berbicara perihal parasmu, atau apa yang engkau punya.
Ada sesuatu tentangmu yang membuatku baik-baik saja, entah apa.
Kau selalu mampu membuatku jujur mengenai segala hal, kecuali satu; perasaanku.
Andai saja aku mampu memberitahumu.
Tapi, aku takut akan reaksimu yang tidak sesuai dengan imajinasiku selama ini.
Bukankah fiksi lebih meninabobokkan dibandingkan kenyataan?
Bukankah kita adalah dua orang yang terlanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan?
Tubuh kita berlumur harapan palsu.
Tanganku menggapai-gapai mencari jalan keluar, sedangkan tanganmu mencegahku kemana-mana.
Tunggu sebentar.
Izinkan aku keluar dari zona pertemanan kita untuk sejenak.
Akan kutunjukkan padamu sebuah gerbang menuju dunia paralel.
Mari ikut aku kesana.
Di dunia paralel, aku tidak perlu lagi repot-repot menyatakan apapun.
Kau akan setuju untuk bersanding denganku tanpa perlu ada serentetan peristiwa yang membuat kita semakin pelik.
Aku akan menjadi bumi untuk mentarimu, lirik untuk lagumu, hujan untuk bungamu.
Di dunia paralel, keadaannya akan jauh berbeda.
Walau begitu, kau tahu aku akan tetap menjadi orang yang sama, yang merindukanmu dengan sederhana, mengejarmu dengan wajar, menyayangimu dengan luar biasa, dan menyakitimu dengan mustahil.
Kau masuk ke dalam hidupku tanpa permisi, berputar bagai gasing di dalam pikiranku.
Entah kau milik siapa, hatiku keras kepala.
Ceritakanlah tentang harimu.
Berbincanglah sampai salah satu dari kita tertidur.
Aku tidak akan bosan dengan semua yang kau ketik.
Betapa sering aku menduga-duga, adakah kode yang tersirat dalam kolom chat kita?
Aku, tidak mau berdrama, tapi aku tidak bisa mengeluarkanmu dari kepalaku.
Aku tergila-gila hingga tak tahu lagi mesti berbuat apa.
Ini semacam hasrat purba yang lebih tua dari manusia.
Jika kau percaya akan “jodoh”, mungkin ini adalah contohnya.
Dan aku tidak berbicara perihal parasmu, atau apa yang engkau punya.
Ada sesuatu tentangmu yang membuatku baik-baik saja, entah apa.
Kau selalu mampu membuatku jujur mengenai segala hal, kecuali satu; perasaanku.
Andai saja aku mampu memberitahumu.
Tapi, aku takut akan reaksimu yang tidak sesuai dengan imajinasiku selama ini.
Bukankah fiksi lebih meninabobokkan dibandingkan kenyataan?
Bukankah kita adalah dua orang yang terlanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan?
Tubuh kita berlumur harapan palsu.
Tanganku menggapai-gapai mencari jalan keluar, sedangkan tanganmu mencegahku kemana-mana.
Tunggu sebentar.
Izinkan aku keluar dari zona pertemanan kita untuk sejenak.
Akan kutunjukkan padamu sebuah gerbang menuju dunia paralel.
Mari ikut aku kesana.
Di dunia paralel, aku tidak perlu lagi repot-repot menyatakan apapun.
Kau akan setuju untuk bersanding denganku tanpa perlu ada serentetan peristiwa yang membuat kita semakin pelik.
Aku akan menjadi bumi untuk mentarimu, lirik untuk lagumu, hujan untuk bungamu.
Di dunia paralel, keadaannya akan jauh berbeda.
Walau begitu, kau tahu aku akan tetap menjadi orang yang sama, yang merindukanmu dengan sederhana, mengejarmu dengan wajar, menyayangimu dengan luar biasa, dan menyakitimu dengan mustahil.