Ia lelaki itu– selalu memburu kunang-kunang
setelah hujan reda tengah malam, berjalan menyusuri
jalan kampung yang masih basah dan sangat senyap
dilupakannya persoalan hidup yang menghimpit dan membelit
ia tenggak embun yang berjatuhan dari pucuk-pucuk daun
di kejauhan sana, di atas hamparan sawah, dilihatnya kerlip
kunang-kunang. satu, dua, tiga, o, puluhan kerlip kunang-kunang
langkahnya dipercepat. ia lewati pematang dengan dada berdebar
puluhan kunang-kunang itu terbang ke atas lembah
ia terus mengejarnya. dari dalam dadanya bergejolak perasaan aneh,
semacam rasa cinta dan rindu. o!
kunang-kunang itu lalu terbang ke bukit
di rimbun edelweis kunang-kunang itu berhenti, berputar-putar
lalu hinggap, tapi terus bergerak-gerak
ia begitu terpukau, kunang-kunang itu menjelma kata-kata
menjelma sebuah puisi surealis!
ia tetes juga air matanya
tangannya gemetaran menyentuh kunang-kunang itu.
(Jaspinka, 2018)
setelah hujan reda tengah malam, berjalan menyusuri
jalan kampung yang masih basah dan sangat senyap
dilupakannya persoalan hidup yang menghimpit dan membelit
ia tenggak embun yang berjatuhan dari pucuk-pucuk daun
di kejauhan sana, di atas hamparan sawah, dilihatnya kerlip
kunang-kunang. satu, dua, tiga, o, puluhan kerlip kunang-kunang
langkahnya dipercepat. ia lewati pematang dengan dada berdebar
puluhan kunang-kunang itu terbang ke atas lembah
ia terus mengejarnya. dari dalam dadanya bergejolak perasaan aneh,
semacam rasa cinta dan rindu. o!
kunang-kunang itu lalu terbang ke bukit
di rimbun edelweis kunang-kunang itu berhenti, berputar-putar
lalu hinggap, tapi terus bergerak-gerak
ia begitu terpukau, kunang-kunang itu menjelma kata-kata
menjelma sebuah puisi surealis!
ia tetes juga air matanya
tangannya gemetaran menyentuh kunang-kunang itu.
(Jaspinka, 2018)