Adikku menikah hari ini. Seminggu lagi, mantan kekasihku juga akan menikah.
Dua pelaminan, dua kebahagiaan, dua luka yang tak bisa kuucap. Tapi mungkin, di antara keduanya, aku belajar: menunggu bukan satu-satunya cara mencintai.
Aku tidak tahu sejak kapan menunggu menjadi kebiasaan. Menunggu pesan yang tak kunjung masuk. Menunggu tanggal yang tak pernah ditetapkan. Menunggu seseorang yang entah bagaimana, berhenti menoleh ke arahku dan meninggalkanku.
Hari itu, halaman rumah kami dipenuhi kursi, bunga, dan tawa tamu. Raka, adik laki-lakiku, menikah. Ia berdiri di pelaminan dengan wajah tegang tapi bahagia, menggenggam tangan perempuan yang baru saja ia halalkan.
Perempuan itu tersenyum di hari pernikahannya. Tetapi perempuan itu bukan aku.
Aku memeluknya lama sebelum acara dimulai, berusaha menahan air mata yang entah datang karena haru, atau karena sesuatu yang lain.
“Doakan aku ya, Kak,” katanya sambil tersenyum.
“Tentu,” jawabku, suaraku nyaris tak terdengar. Aku berusaha tersenyum, menahan setiap luka di dalam hati.
“Kakak baik-baik saja, kan?” tanya Raka.
“Ya, aku baik-baik saja. Srikandi tak akan tumbang,” balasku sambil menepuk pundaknya.
Di sekelilingku, semua orang sibuk: ibu menata bunga, ayah memeriksa sound system, para saudara memuji Raka. Aku tersenyum, tapi ada rasa hampa di tengah keramaian. Mungkin karena aku tahu, orang yang dulu berjanji akan berdiri di pelaminan bersamaku… kini duduk di kursi tamu, menatap ke arah lain.
Namanya Umam. Mantan kekasihku. Kadang ia masih datang menjemputku sepulang kerja. Aku selalu menghindar, tapi semakin aku menjauh, semakin keras ia berusaha mendekat. Hanya untuk mengobrol sejenak, seolah semuanya baik-baik saja.
Beberapa bulan lalu, Umam datang ke rumah. Ia menatapku lama sebelum bicara.
“Aku mau menikah, Nad.”
Aku menatapnya, mencoba menebak apakah itu candaan. Tapi matanya terlalu tenang untuk lelucon.
“Dengan siapa?” tanyaku.
“Dengan orang yang dipilih ibuku.”
Lalu kami saling terdiam. Kupikir aku akan menangis. Tapi ternyata tidak. Yang ada hanya rasa dingin, seperti berdiri di bawah hujan setelah semua air mata habis.
“Aku minta maaf,” katanya pelan.
Aku mengangguk. Karena apa lagi yang bisa kulakukan selain mengangguk?
“Bolehkah aku tahu alasannya?” tanyaku.
“Ibuku tak merestui hubungan kita,” jawabnya lirih.
“Tak merestui?” aku mengulang, suaraku bergetar.
“Ini bukan tentang restu, kan? Ini tentang keadaan keluargaku — tentang adikku yang menikah duluan?”
Umam terdiam. Aku tahu ia tak bisa menyangkal.
“Aku tahu orang tuamu tak ingin punya menantu yang dilangkahi adiknya. Tapi apakah semua itu kesalahanku, Mam? Kenapa aku yang harus menanggung akibat dari sesuatu yang tidak pernah kulakukan?”
Aku marah dan menangis di depannya, lalu pergi meninggalkannya dengan dada sesak dan kata-kata yang menggantung.
Kini, di hari pernikahan Raka, aku kembali menatap pelaminan — bukan satu, tapi dua.
Satu di rumahku, tempat adikku berdiri.
Satu lagi di undangan yang kusimpan di laci kamar, dengan nama Umam tercetak di atasnya.
Sungguh menyakitkan, bukan? Dua lelaki yang dulu mengisi hari-hariku, kini sama-sama mengucap janji pada perempuan lain.
“Kenapa kamu belum menikah, Kak?” tanya salah satu sepupuku polos.
Aku tersenyum tipis. “Belum waktunya,” jawabku. Ia hanya mengangguk, tak mengerti bahwa waktu kadang bukan sekadar angka — tapi luka yang entah kapan akan sembuh.
Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku duduk sendirian di kamar. Dari teras, terdengar tawa para saudara. Lampu gantung menyala lembut, menerangi sisa bunga melati yang jatuh ke lantai. Dari ruang tengah, suara ibu masih riang memuji menantu barunya. Seolah aku, anak perempuannya yang terluka, hanya bayangan di sudut rumah.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk:
“Selamat untuk Raka. Maaf aku nggak bisa lama di acara tadi.”
Nama pengirim: Umam.
Tanganku sedikit gemetar sebelum mengetik balasan:
“Terima kasih. Semoga pernikahanmu lancar.”
Aku sempat menulis, “Aku turut bahagia untukmu,” tapi kuhapus. Belum siap untuk kebohongan sejujur itu.
Tiga hari setelah pernikahan Raka, aku menghadiri pernikahan Umam. Entah apa yang mendorongku datang — mungkin rasa penasaran, atau ingin memastikan semuanya benar-benar berakhir.
Ketika kulihat ia berdiri di pelaminan, dengan wajah damai dan perempuan di sampingnya tersenyum manis, aku sadar: yang paling menyakitkan bukan ditinggalkan, tapi melihat seseorang yang kita cintai bahagia tanpa kita.
Aku berdiri di antara tamu, menggenggam undangan di tangan, tersenyum kecil.
Seorang teman menepuk bahuku, “Kamu kuat banget, Nad.”
Aku tak menjawab sepatah kata pun. Dalam hati, hanya berkata: bukan kuat — mungkin aku cuma terbiasa.
Lalu aku naik ke atas panggung, memberikan selamat kepada kedua mempelai dan orang tuanya.
“Selamat ya, semoga kalian selalu bahagia.”
Aku memeluk mempelai perempuan, menatap ibu Umam. “Selamat ya, Bu. Semoga selalu bahagia dan sehat selalu.”
Tapi beliau tak menatapku. Pandangannya dingin, seolah kehadiranku adalah kesalahan. Aku tersenyum dan melangkah pergi.
Malam itu, aku membuka dua foto di ponsel — satu dari pernikahan Raka, satu dari pernikahan Umam. Dua pelaminan, dua kebahagiaan, dua kehilangan dalam waktu yang hampir bersamaan. Kupandangi lama, lalu kuhapus keduanya.
Bukan karena ingin melupakan, tapi karena ingin memberi ruang bagi sesuatu yang baru. Aku tidak tahu kapan waktuku tiba. Tapi malam itu, aku berjanji untuk berhenti menunggu siapa pun.
Mungkin begini cara luka sembuh — bukan karena seseorang datang, tapi karena kita akhirnya berhenti berharap.
Dan di antara dua pelaminan itu, aku belajar satu hal:
Kadang, bahagia bukan tentang siapa yang kau tunggu, tapi tentang bagaimana kau berdamai dengan yang pergi.
_____
Sumber: Cerpen kiriman Septina Wahyu melalui email 2 November 2025.
