(: Gus tf)
(1)
TETAPI, aku penyair
bukan pengemis cemas
yang tak pernah yakin selalu ada sesuatu
yang bisa disantap di kantong roti
Aku penyair
yang tahu pasti, di kantong roti itu
selalu ada lapar: penuh dan sangat tawar.
Ya, aku kira
aku tadi bertemu seseorang seperti Diogenes,
menumbuk-numbukkan ujung tongkat
ke kantong rotiku yang kempes,
“Bagikanlah, bagikanlah sekerat lapar itu padaku.”
(2)
Tetapi, aku penyair
bukan penyihir mahir
menyimpan mantera di saku mantel
Aku penyair
yang meringkuk
di dalam tong
– bahasa yang sering dicurigai & kerap disesali –
tetapi ke dalam tong itulah aku kembali
meringkuk seperti janin
menendang-nendang dinding rahim.
Aku dengar
ada seseorang berkata, seperti Socrates
filsuf berlidah protes
di depan sebuah syair, sebuah pertanyaan
ia tinggalkan,
“kenapa terlalu banyak kata, berdesakan,
kata yang tidak saya perlukan?”
Sejak itu aku lenyapkan diri
berulang kali, di akhir sajak
menghilangkan jejak, agar bait tak sesak,
mengulangi perpisahan:
aku terus berjalan, ke keberbagaian,
sedang sajak menuju ke kebanyakan,
arah berlain-lainan.
(3)
“Tetapi aku penyair,”
kataku.
“Benarkah?” katamu,
“bila ya, mari kita melenyap ke lain badan,
mari kita menghancur ke lain sebutan,
karena dengan demikian
kita bisa menghampir pada keabadian,
kita dapat kuat menahan
kita mampu lama bertahan.”
(1)
TETAPI, aku penyair
bukan pengemis cemas
yang tak pernah yakin selalu ada sesuatu
yang bisa disantap di kantong roti
Aku penyair
yang tahu pasti, di kantong roti itu
selalu ada lapar: penuh dan sangat tawar.
Ya, aku kira
aku tadi bertemu seseorang seperti Diogenes,
menumbuk-numbukkan ujung tongkat
ke kantong rotiku yang kempes,
“Bagikanlah, bagikanlah sekerat lapar itu padaku.”
(2)
Tetapi, aku penyair
bukan penyihir mahir
menyimpan mantera di saku mantel
Aku penyair
yang meringkuk
di dalam tong
– bahasa yang sering dicurigai & kerap disesali –
tetapi ke dalam tong itulah aku kembali
meringkuk seperti janin
menendang-nendang dinding rahim.
Aku dengar
ada seseorang berkata, seperti Socrates
filsuf berlidah protes
di depan sebuah syair, sebuah pertanyaan
ia tinggalkan,
“kenapa terlalu banyak kata, berdesakan,
kata yang tidak saya perlukan?”
Sejak itu aku lenyapkan diri
berulang kali, di akhir sajak
menghilangkan jejak, agar bait tak sesak,
mengulangi perpisahan:
aku terus berjalan, ke keberbagaian,
sedang sajak menuju ke kebanyakan,
arah berlain-lainan.
(3)
“Tetapi aku penyair,”
kataku.
“Benarkah?” katamu,
“bila ya, mari kita melenyap ke lain badan,
mari kita menghancur ke lain sebutan,
karena dengan demikian
kita bisa menghampir pada keabadian,
kita dapat kuat menahan
kita mampu lama bertahan.”