Kurang lebih satu setengah tahun lalu Munawar Tawakal disambar petir. Tidak secara langsung, sebenarnya. Kala itu hujan deras, dan Munawar, dengan berpayung, naik ke atap balkon rumahnya untuk membetulkan arah antena televisi yang bergeser ditiup angin. Gelegar petir ditimpali kilat yang membelah langit barangkali membuat ia terkejut. Munawar terpeleset, terguling, lalu jatuh berdebam ke sepetak lantai yang dipasangi batu-batu kecil untuk terapi rematik.
Kami mengira ia mati. Munawar tidak mati. Ia siuman setelah lima pekan terbaring seolah kehilangan nyawa, lalu sekonyong-konyong mengaku dapat melihat segala sesuatunya lebih terang. Masa lalu dan masa depan. Tak terkecuali yang masih beredar dalam pikiran.
Waktu itu kami tidak percaya padanya. Sama sekali tidak. Sampai kemudian kami sadar betapa penglihatan-penglihatannya memang banyak yang jadi kenyataan.
Paling menghebohkan adalah skandal asmara Zainuddin Tambi, kepala lorong kami. Munawar bilang Zainuddin akan menceraikan istrinya lalu menikahi Laila Habsah. Kami tertawa-tawa saja. Tak mungkin, lah! Laila Habsah bersuami dan rumah tangga Zainuddin baik-baik saja. Tidak pernah ada riak. Tiap kali muncul berdua saat menghadiri acara-acara yang digelar warga, Zainuddin dan istri kelihatan harmonis dan mesra. Namun 14 bulan berselang ucapan Munawar terbukti. Zainuddin dan Laila benar-benar bersanding di pelaminan. Pengadilan memutus perceraian Laila sekitar enam bulan setelah Leman Dogol, suaminya, mendekam di penjara. Zainuddin sendiri bercerai satu bulan sebelumnya.
Kebetulan? Munawar menggeleng kuat. Bilangnya, semua yang tampak seperti kebetulan pada dasarnya merupakan tahapan-tahapan yang dirancang Zainuddin secara cermat dan terperinci usai mendapat kabar perihal penikaman yang dilakukan Leman terhadap ayah tirinya lantaran kalah banyak di arena judi kepyek. Leman menuding sang ayah berkongkalikong dengan tukang guncang dadu hingga terus-menerus membisikkan angka yang keliru.
Menurut Munawar, peristiwa ini dipandang Zainuddin sebagai kesempatan untuk menuntaskan hasrat pada Laila yang dipendamnya sejak melihat perempuan itu berlari-lari kecil di bawah gerimis, pada satu petang menjelang malam, kira-kira sembilan bulan sebelum dia mengajukan gugatan cerai.
Pengakuan dapat melihat segala sesuatu lebih terang tentu saja mengejutkan, tapi sebenarnya ada satu alasan lain yang membuat kami tidak langsung percaya pada Munawar. Untuk waktu yang lama kami pernah memanggilnya ‘Munawar Pesong’. Iya, pesong, istilah di daerah kami untuk menyebut orang yang tidak utuh waras tapi belum sampai sepenuhnya gila. Biasanya diucap dengan diikuti isyarat jari telunjuk yang diletakkan sedikit miring di atas kening.
Jauh sebelumnya orang-orang yang lebih tua mengapungkan panggilan serupa untuk Nur Karim dan Abdul Gafur, abang nomor satu dan nomor empat ayah Munawar. Di antara orang-orang yang diangkut truk dan dibawa pergi saat geger-gegeran PKI keduanya jadi kecuali. Mereka kembali setelah hilang 29 hari. Walau begitu, keadaan setelahnya memang tak sama lagi.
Nur Karim pegawai negeri dan dia dipecat tidak hormat dan oleh sebab itu tak dapat pensiun. Rumah tangganya berantakan. Istrinya meninggalkan dia sekaligus membawa dua anak mereka. Kestabilan jiwa Nur Karim goyah. Meski tak lama dia sempat dirawat di rumah sakit jiwa.
Lain lagi Abdul Gafur. Sejak kecil dia berkeinginan kuat jadi tentara. Namun fisik yang telah rusak, ditambah tanda khusus di KTP, membuat kesempatannya sirna. Abdul Gafur, yang konon mengusulkan nama Munawar Tawakal pada adik dan iparnya, kemudian mulai mengoleksi seragam tentara, dan belakangan seragam polisi, dan memakainya di sembarang kesempatan. Termasuk saat menghadiri hajatan. Belakangan dia sering salah pakai pula. Setelan atas tentara setelan bawah polisi, atau sebaliknya.
Berbeda dari pakcik-pakciknya, gelagat kepesongan Munawar sudah terlihat sejak ia kecil, dan ini membuatnya terpinggirkan dalam banyak permainan, terutama sepak bola. Walau saban sore datang ke tanah lapang, Munawar hampir tak pernah diajak bermain. Ia lebih sering duduk di samping gawang, menonton pertandingan, atau mengejar-ngejar bola yang melesat ke balik rimbun semak atau tercemplung ke parit. Alamak oi! Apa boleh buat, bagi kawan-kawannya Munawar adalah jaminan kekalahan. Ia main tanpa aturan, tak tahu mana kawan mana lawan. Dijadikan kiper pun sama menjengkelkan. Seringkali dibiarkannya saja bola masuk gawang, lalu ikut lawan merayakan kegembiraan.
Menjelang usia 14, tahun 2020, Munawar tinggal sebatang kara. Ayahnya meninggal dunia akibat demam berdarah dan tipus yang telat ditangani. Berjarak tak terlalu lama, mungkin enam atau tujuh bulan, ibunya dijebloskan ke penjara karena dituding membunuh Anwar Sadat. Rentenir beristri lima ini tersungkur dalam posisi menelungkup di ruang tamu rumah Munawar. Pelipisnya koyak. Bagian belakang tengkorak kepalanya remuk. Di sisi mayatnya polisi menemukan vas bunga yang pecah dan pemukul kasti berlumur darah.
Ada dua versi kronologi kematian Anwar Sadat. Mula perkara adalah pinjaman ibu Munawar untuk melunasi utang-utang mendiang suaminya. Selama hidup ayah Munawar menggeluti berbagai bisnis. Mulai dari beternak ayam kampung petelur, jual beli mobil bekas, agen air mineral isi ulang, makelar tanah, dan beberapa yang lain yang semuanya gagal dan termakan modal.
Lantaran bunga yang berbunga dan terus berbunga, utang Rp 50 juta membengkak jadi Rp 150 juta, dan ibu Munawar tak sanggup lagi membayarnya setelah manajemen pabrik kuali anti lengket tempat dia memasok katering memutus kontrak lantaran ada pihak lain melayangkan tawaran lebih murah.
Anwar Sadat sempat memberi solusi. Utang dianggap lunas apabila ibu Munawar bersedia dinikahi. Ibu Munawar menolak. Anwar Sadat tak hilang akal. Dia datang bertandang, merayu, mencoba memaksakan hasrat. Ibu Munawar tetap menolak. Anwar Sadat yang merasa sudah kepalang tanggung akhirnya nekat. Di saat tergenting, ibu Munawar menggapai vas bunga di meja dan menghantamkannya ke pelipis Anwar Sadat dan membuatnya pingsan. Kemudian, didorong emosi meluap-luap, dia bangkit dan melangkah ke kamar Munawar untuk mengambil tongkat pemukul kasti, lalu kembali dan menghantamkannya ke kepala Anwar Sadat. Bertubi, berkali-kali.
Ini versi polisi sebagaimana dicatat dalam berita acara pemeriksaan dan disiarkan di berbagai media. Versi lain yang beredar dari mulut ke mulut menyebut pembunuh sebenarnya justru Munawar Tawakal. Sepulang bermain kasti ia memergoki perbuatan Anwar Sadat dan langsung menggebuk kepalanya dengan tongkat pemukul dari kayu padat itu. Demi menyelamatkan Munawar, kepada polisi ibunya membuat pengakuan berbeda.
Pengadilan memutus ibu Munawar bersalah melanggar pasal 338 KUHP dan menghukumnya 15 tahun penjara. Namun belum genap setahun, pada satu pagi selepas subuh kira-kira tiga pekan pascalebaran, seorang sipir menemukannya terkapar tak bernyawa di kamar mandi. Bagian belakang tengkorak kepalanya remuk. Kepala penjara, kepala kantor wilayah kementerian hukum dan HAM, polisi, dan para sipir, di hadapan wartawan dalam konferensi pers kompak menyebut kematian ini murni kecelakaan: terpeleset akibat tak sengaja menginjak sabun.
Santan cerita sebenarnya bermula dari sini. Usai tahlilan malam terakhir, keluarga Munawar menggelar pertemuan. Munawar yang kala itu cuma bisa cengengesan didudukkan di hadapan pakcik-pakciknya: Muamar Saidi, Marjili Samsuri, Ismail Rifai, dan Nasaruddin Afandi. Semuanya dari sebelah ibu. Kondisi Nur Karim bertambah parah. Pun Abdul Gafur yang makin kerap memadankan seragam polisi dan tentara. Sementara dua kakak dan adik ayahnya yang perempuan, yang dibawa suami-suami mereka merantau ke Taiwan dan Malaysia, memilih tidak datang.
Pertemuan menyepakati satu keputusan: Munawar Tawakal akan diterbangkan ke Mars ketika usianya 17.
Munawar memang sangat menyukai cerita tentang antariksa dan planet-planet. Terutama Mars. Ia ingin jadi jagoan seperti John Carter, atau Douglas Quaid yang mengendarai mobil terbang dan menembaki musuh dengan pistol laser.
Marjili tahu betul soal ini dan merancang skenario yang ciamik: disebabkan bumi telah kehilangan harapan akibat lubang di lapisan ozon makin menganga lebar dan mengakibatkan es di kutub utara mencair, maka para pemimpin dunia memutuskan mengirim manusia-manusia terpilih untuk melanjutkan peradaban di Mars.
Pertanyaannya, kenapa pada usia 17? Sejumlah dugaan mencuat. Di antara yang paling populer, persis di usia ini paman-paman Munawar akan memaksa dia menandatangani dokumen menyangkut harta warisan, lalu membagi-baginya dan setelah itu menyingkirkannya. Mereka akan menjadikan kepesongan Munawar sebagai alasan memasukkannya ke rumah sakit jiwa.
Skenario Marjili sepertinya akan meluncur mulus jika saja Munawar tidak disambar petir.
“Untuk apa aku ke Mars? Tak ada yang menarik di sana. Seperti sarapan yang runyam. Kopimu dingin dan nasimu keras dan dadar telurmu dimasak dengan kocokan tanpa perhitungan,” katanya.
Alahai! Namun, bukan penolakan ini yang membuat kami terkejut.
“Pakcikku Marjili mau ikut-ikutan main politik. Sudah kubilang sama dia, tak usahlah sok-sokan. Bukan apa-apa, ya. Ini bukan perkara dipilih tidak dipilih, bukan juga masalah dapat suara atau tidak dapat suara, tapi karena memang tak ada garis tangan. Jadi, daripada modal habis percuma untuk mengongkosi partai-partai, untuk bikin spanduk bikin poster selebaran segala macam, bikin dangdutan bikin pengajian, mending dibikin untuk buka kedai kopi atau beternak lele saja.”
Ibu Munawar tidak meninggalkan banyak warisan. Tak ada uang dalam rekening bank. Tak ada emas berlian atau berpetak kebun. Hanya rumah dua lantai berarsitektur klasik yang di beberapa bagian bahkan butuh perbaikan serius. Namun tanah pertapakan rumah ini luas dan letaknya sangat strategis dan kami dengar banyak yang mengincarnya untuk dibangun kompleks ruko.
Ke mana akal-akalan Marjili berujung sudah lama terbaca. Namun kami memang baru tahu bahwa ternyata ada ujung lain: jika laku, uang hasil penjualan warisan ibu Munawar akan digunakan untuk membiayai pencalonan Marjili menjadi anggota dewan di pilkada mendatang.
Sekarang rencana mereka berantakan.[*]
Sumber: "Munawar Tak Terbang ke Mars", www.bacapetra.co.