Cerpen Sehelai Daun Dalam Angin Karya W.S. Rendra



Saya menulis cerita ini untukmu, Herman. Saya tak tahu lagi di mana engkau sekarang berada, berhubung dengan tempatmu yang berpindah-pindah itu. Namun, semoga engkau sempat membaca cerita ini, dan setelah itu sudi merenungkannya secara bersungguh-sungguh. Saya pernah menulis surat kepadamu dan menerangkan bahwa anak lelakimu, Fajar, telah bertunangan dengan anak perempuan saya yang menengah, Retno. Kita berdua telah sejak kecil bersahabat, dan sekarang saya girang bahwa anak kita berdua telah melanjutkan ikatan batin kita. Namun, baru-baru ini datang sebuah kesulitan. Sambil menangis, anak perempuan saya itu telah bercerita padaku, bahwa Fajar meminta untuk memutuskan pertunangan itu. Hal ini sungguh-sungguh merepotkan karena justru kami sedang bersiap-siap untuk rancangan perkawinan mereka.

Tambahan lagi, rupa-rupanya cinta Retno sedemikian besarnya kepada Fajar sehingga saya tak bisa melihat kemungkinan yang baik di hari depan Retno, apabila pertunangan itu dibatalkan. Jadi, saya pun bertindak membereskannya. Barangkali ada baiknya kalau saya ceritakan dari permulaan.

Pada saat engkau meninggalkan istrimu, Fajar baru berumur sepuluh tahun. Istrimu telah mengasuhnya baik-baik dan mempergunakan harta yang kau tinggalkan yang banyak itu dengan baik-baik pula untuk membesarkannya. Anak lakimu itu mempunyai bakat yang besar dalam seni musik. Istrimu telah membelikannya sebuah piano dan mendatangkan seorang guru yang baik untuknya. Akhirnya, Fajar telah menjadi pianis yang pantas dibanggakan. Telah tiga kali orang membuat artikelnya di koran, berikut dengan potretnya. Barangkali kau pernah pula menjumpainya.

Pemuda itu telah beruntung mempunyai seorang ibu yang bersifat pengasuh dan sangat mencintainya, kecuali itu ia juga mempunyai bakat yang besar, ditambah lagi bahwa ia mempunyai kehidupan yang mewah. Meskipun begitu, ia selalu tampak tidak bahagia. Ia tampak hidup dalam kehidupan yang goyah, seluruh tingkah dan pernyataannya, temperamennya menunjukkan ketidakstabilan. Ia mulai berhubungan dengan Retno sejak ia berumur dua puluh tahun, tetapi aku baru menyetujui pertunangan mereka ketika ia berumur hampir dua puluh tiga tahun itu.

Mula-mula pikiran saya diliputi kekhawatiran juga ketika mengetahui bahwa anak saya telah bergaul dengan dia, pemuda yang kelihatan liar, tidak stabil, dan menonjolkan begitu banyak teka-teki dalam sikap dan temperamennya. Saya menjadi penuh tanya di dalam hati setelah beberapa lama menyelidiki kelakuan dan tabiatnya. Ia sangat suka berkelahi, tetapi kadang-kadang juga ragu-ragu bertindak karena ketakutan yang mendatangkan kebimbangan. Ia ngomong dengan suara keras dan lagu memerintah yang kemanja-manjaan, tetapi juga sering terlihat menekurkan kepala, pendiam, malu dan bersuara rendah penuh suasana lesu, serta iseng. Dengan perkataan lain, barangkali ia bisa disebutkan sebagai ayam jantan yang bagus.

Dua unsur perwatakan yang saling bertentangan selalu berbenturan di dalam batinnya. Meskipun umurnya sudah hampir 25 tahun, tetapi ia masih kelihatan seperti kanak-kanak. Waktu aku menyadari untuk kali pertama hubungan antara anak saya dengan dia, aku berkata kepada anak saya

“Lihatlah, anak itu masih hijau betul. Seorang bocah yang nakal.”

Akan tetapi, rupa-rupanya anak saya sudah tergila-gila kepadanya. Sehingga, akhirnya aku tidak sampai hati untuk melancarkan perlawanan.

Saya tidak menyukai cara anakmu menghabiskan waktunya. Dari pagi sampai petang, waktunya habis untuk dolan. Ia mempunyai kebiasaan makan di restoran, nonton sembarang film, gemar piknik dan lain-lain ke pelesiran. Sebetulnya ia mempunyai otak yang cerdas, tetapi ia malas sekolah. Ibunya berkata kepada saya, bahwa ia suka sekali membeli buku-buku, tetapi sampai di rumah tak pernah dibacanya.

Mamanya telah mencoba mendidiknya sebaik-baiknya. Ibunya itu pernah berkata kepada saya, “Saya telah berusaha sekuat-sekuat saya. Ia memang merupakan soal yang sulit bagi saya, tapi saya tak akan putus asa. Ia sebagai kuda jantan yang manis kepada saya, tetapi terlalu kuat tenaganya sehingga saya sukar mengendalikannya.”

Fajar pun menyayangi ibunya dan banyak berbuat kebaikan untuknya, tetapi selalu dengan caranya sendiri yang aneh, penuh teka-teki, dan mendebar-debarkan itu. Dengan cara mokal-mokal sekali, kadang-kadang di rumah ia memperlihatkan sikap pemberontak yang ganas, murung, dan mata gelap. Namun, ia tidak suka ibunya kelihatan menderita. Segala tindakan dan maksudnya selalu merupakan pertentangan. Dengan kata singkat, ia tidak tahu apa yang ia ingini sebenarnya.

Menurut cerita Retno kepada saya, ia selalu bersikap manja kepadanya. Retno memang mempunyai sifat sabar dan sifat keibuan. Kemanjaan Fajar tidak memberatkan hatinya. Kecuali itu ia bisa bersikap keras sehingga ia bisa membimbing pemuda yang selalu gelisah itu. la tidak segan-segan bertindak keras tegas sehingga hal itu kerap menjadikan pangkal ketegangan antara kedua kekasih itu. Namun, Retno pandai memperlihatkan bahwa di balik sikapnya yang keras itu tertanam cinta yang sungguh-sungguh dalam dan gila.

Dengan penuh kesabaran, Retno menghadapi teka-teki mengenai wataknya. Kadang-kadang, tiba-tiba Fajar berkata kepadanya bahwa ia akan berhenti main piano sama sekali.

“Untuk apa sebenarnya aku main piano dan ternama?” katanya.

Dan, Retno akan selalu berkata, “Untuk orang yang kau cintai, untuk ibumu, dan untukku.”

Sebagai seniman ia banyak mempunyai pemuja-pemuja, tentu saja di antaranya, gadis-gadis. Dengan gadis-gadis pemujanya ia selalu bersikap sembrono. Ia menyukai pemujaan mereka, tetapi tidak memberikan balasannya yang jujur. la membalasnya dengan harapan-harapan yang palsu. Ia kurang bersikap sederhana terhadap gadis-gadis pemujanya. Hal ini juga sering merupakan pangkal pertengkaran dengan Retno. Retno menyebut bahwa sikap semacam itu sama saja dengan sikap seorang bajul, Namun, Retno sendiri pun insyaf bahwa pada dasarnya Fajar bukan seorang bajul, tetapi semata-mata seorang pemuda yang gelisah dan linglung. Dengan sebenarnyalah saya umpamakan, bahwa Retno merupakan pelabuhan yang aman baginya, setelah mengarungi badai yang dahsyat dalam jiwanya itu.

Menurut cerita Retno, tiada lama berselang ke belakang ini, sudah terang dalam keadaan kekacauan jiwanya, yaitu setelah bertengkar dengan Retno mengenai sesuatu hal, Fajar telah berbuat serong. Ia pergi ke Kaliurang, bermalam dengan salah seorang gadis pemujanya. Semua orang di Yogya telah tahu apa yang terjadi, dan hal ini telah menimbulkan heboh yang besar di kalangan pemuda-pemuda di Yogya. Dan, bagi Retno hal itu merupakan tamparan yang hebat bagi cintanya yang gila itu. Ia telah mengirimkan sepucuk surat kepada Fajar yang berisi kutukan dan permintaan putusnya pertunangan, di luar pengetahuanku.

Akhirnya, Fajar sadar akan keedanan perbuatannya. la selama itu tidak sadar akan perbuatannya. Sebagai orang yang mabuk atau kena bius, ia melambung dan membubung dengan lalai dalam dosanya, kemudian tiba-tiba tersadar dan terbangun. Ia terperenyak dengan kerasnya. Sangat parah dan kasihan sekali. Ia menyembah-nyembah Retno agar mengampuni kesalahannya. Namun, Retno sudah telanjur sangat marah dan terluka. Ia tetap menolaknya.
Sebagai orang yang kebingungan, Fajar lalu menempuh jalan yang biasa ditempuh oleh kerbau jantan yang terluka, mengganas ke sana kemari, memusuhi dunia dan orang-orang di kanan kirinya. Ibunya menderita sekali akibat sikapnya itu. Ia datang kepadaku dan mengeluh bahwa anaknya sekarang suka mabuk dan mengendarai sepeda motor dengan kecepatan yang berbahaya. Pendeknya, semua orang disusahkannya. Sehingga, pada akhirnya Retno pun menjadi luluh hatinya. Dengan menangis ia menjumpai Fajar dan berkata kepadanya, “Kemari, Manis-ku, kemari! Aku tetap mencintaimu.”

Kejadian itu telah membereskan semuanya. Topan kehebohan sudah reda. Kedua kekasih itu banyak pelesir dan mempunyai rencana-rencana bersama. Retno lulus ujian kandidatnya di Fakultas Sastra. Fajar sukses dalam konser amalnya untuk Dana Perjuangan Perebutan Irian Barat. Waktu berangkat konser, Fajar dan ibunya berangkat bersama-sama satu mobil dengan keluarga kami. Malam itu, Fajar banyak tersenyum dan ia telah menyuguhkan sebuah malam yang gemilang. Ia mainkan sebuah lagu kesayangan ibunya. Ibunya melelehkan air mata karena terharu dan memegang tangan Retno, calon menantunya.

Setelah malam itu, dengan lebih banyak memikirkan kepentingan Fajar, istrimu, dan saya berikut istri saya, merundingkan untuk mempercepat perkawinan kedua kekasih itu. Berhari-hari kami asyik merancangkan dan mempersiapkan segala sesuatunya sampai ke detail sehingga akhirnya semuanya telah beres, tinggal menunggu hari jadinya saja.

Betapa terkejut saya waktu tiba-tiba Retno, sambil menangis, berkata kepada saya, bahwa Fajar minta supaya pertunangan itu diputuskan. Ketika saya tanyakan sebab-musababnya, Retno menjawab, “Saya tak tahu sebab-sebab yang sebenarnya. Mula-mulanya saya hanya heran, kenapa ia telah lama tidak datang ke rumah. Kepada salah seorang temannya saya tanyakan halnya. Teman itu bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, ia telah berkelahi dengan Sukro, teman kami berdua. Sekarang Sukro di rumah sakit akibat perkelahian itu.”

Sejak perkelahian itu, Fajar jadi selalu gusar dan murung. Ketika saya tanyakan, apa sebab-sebab perkelahian itu, teman itu hanya menunduk saja. Ketika sekali lagi saya tanyakan sebabnya, ia menjawab bahwa sebabnya ialah saya. Sesudah itu, teman tadi tak mau memberi keterangan lebih lanjut.

Akhirnya, datanglah Fajar dengan mengatakan bahwa ia menuntut supaya pertunangan diputuskan. Saya bertanya, apakah hal ini ada sangkut pautnya dengan perkelahiannya. la menjawab kurang lebih memang begitu. Banyak lagi igauannya yang mokaZ-mokal. Dikatakannya bahwa ia merasa kasihan kepada saya karena ia telah merusak hidup saya. Saya tak bisa mengerti lagi maksudnya.

Ia mengeluarkan perkataan-perkataan yang menjengkelkan saya, membosankan saya, membingungkan saya, dan mematahkan saya. Ayah, tolonglah saya.

Begitu antara lain kata anak saya, dan saya merasa tak bisa berbuat lain, kecuali segera juga bertindak dan membereskan hal itu. Apalagi setelah ibu Fajar sendiri datang pula untuk meminta tolong saya membereskan hal itu.

Segera saya pergi menemui Fajar di rumah ibunya. Ibunya menganjurkan supaya saya langsung menemuinya ke kamarnya. Ketika saya mengetuk dan mulai masuk ke kamarnya, ia menyambut saya dengan sikap pemberontak yang dingin dan keras kepala. Namun, keadaan kamarnya yang keras berbau asap rokok dan lantainya kotor oleh abu, puntung, serta bekas-bekas bungkus rokok, menandakan bahwa hatinya sedang rusuh, menderita, dan gelisah. Keadaan kamarnya tak teratur, pianonya terbuka dan berdebu, beberapa butir abu terserak di atas tuts-tuts piano.

Saya menerangkan bahwa maksud kedatangan saya ialah untuk membereskan keruwetan yang tak perlu mengenai pertunangan itu. Saya terangkan, bahwa ia harus berpikiran lebih tenang dan sehat. Janganlah bertingkah yang menggegerkan orang. Ia mengatakan bahwa ia telah cukup bijaksana, dan ia mengambil keputusan untuk membubarkan pertunangan itu justru demi kebijaksanaan. Selanjutnya kami ramai berdebat tentang itu. Segera saja dari omongannya, saya tahu bahwa pemuda itu sedang dihinggapi rasa rendah diri dans eakan-akan tiba-tiba merasa terkalahkan. Akhirnya, saya pun membentak, “Semuanya omong kosong. Janganlah kau menuruti perasaanmu yang tidak beralasan. Kau cukup berharga, sebagai seniman dan sebagai manusia. Janganlah perasaan rendah dirimu mendorong kau untuk merusakkan percintaanmu,”

Akan tetapi, ia lalu berkata, “Seorang teman telah berterus terang mengatakan bahwa ia cinta Retno. Saya jadi jengkel. Benci pada orang itu, apalagi setelah lama tahu, bahwa sudah lama ia sendiri mencintai Retno. Saya pukul orang itu. Saya pukul, saya hajar. Namun sesudah itu, di kamar ini, saya merenung dan mendapati hal, bahwa segala kata-kata orang itu memang betul. Apakah sebetulnya saya ini? Seorang berandal. Tak lebih dari itu. Kerja saya cuma pelesir, bikin heboh, bikin kacau, lalu bermalas-malas. Pianis, bah pianis! Untuk apa sebetulnya saya main piano?”

“Untuk apa? Tentu saja segala sesuatunya ada tujuannya. Nah, sekarang tinggal kau saja yang tak sadar akan tujuan yang sebenarnya.”

“Bukannya tak sadar. Tapi, memang tak ada.”

“Jadi kau hidup tanpa tujuan?”

“Ya!”

“Nah, kalau begitu, kau memang orang yang tidak berguna. Kau memang pantas marah pada dirimu sendiri. Karena dirimu penuh keruwetan dan kegelapan. Seperti teka-teki yang menjemukan. Seperti kuda liar yang selalu gelisah. Orang yang hidup tanpa tujuan. Orang yang hidupnya kosong. Tak tahu apa yang dikehendakinya sendiri sebenarnya. Apa yang dilakukan selalu lain dengan yang dimaksudkan. Pendeknya kau memang ruwet. Tapi, apa pula faedahnya tinggal marah-marah pada diri sendiri? Kenapa tak kau coba mencari sebabnya? Apa sebabnya keruwetan ini? Apa sebabnya? Sebabnya.”

Fajar terdiam. Ia berlari ke piano, menelungkupkan mukanya ke atas tuts-tuts piano itu dan menangis tersedu-sedu. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk sementara, kecuali duduk di depannya, menunggu ia tenang kembali dan merokok. Sementara itu terasa kemudian oleh saya, bahwa saya sendiri mulai merasa pusing terhadap hal itu. Setelah lama, baru ia bisa menenangkan dirinya. Sambil menghapuskan air matanya, ia bertanya, “Kenapa Bapak tidak pulang saja?”

Saya menggelengkan kepala.

Lama kami tak saling berbicara. Ia melamun, lalu akhirnya menatapi tuts-tuts piano, dan kemudian mulai memainkan sebuah lagu yang murung dan mengiba. Saya memberi komentar, “Lagu yang sedih.”

“Ya Chopin,” jawabnya sambil masih terus bermain.

“Saya tak tahu apa-apa tentang lagu. Bagi musikus barangkali lagu itu berbicara seperti sebuah cerita pendek saja atau lukisan.”

Dia tersenyum masam, lalu bersuara lagi, “Padaku ia bercerita tentang seorang anak kecil berdiri sendirian di sebuah padang yang sangat sunyi dan luas. Beliau adalah anak yang dibuang. Ia menangis ketakutan. la menggigil kedinginan. la putus asa dan tanpa harapan. Menanti tak tentu apa yang dinanti. Menjerit minta tolong tanpa keyakinan akan ditolong. Ia adalah anak yang terbuang. Terbuang.”

Ia berhenti ngomong dan lalu memejamkan matanya.

Sementara itu tiada berhenti juga ia bermain. Tiba-tiba ia bersuara lagi, “Kadang-kadang saya bertanya kepada diri saya sendiri, sudah sejak saya kanak-kanak dulu, kenapa saya dilahirkan ke dunia. Saya merasa sedih bahwa saya telah lahir ke dunia. Sekarang saya takut. Apabila saya kawin dan beranak, dan kemudian anak saya bertanya kepada saya: Papa, kenapa saya lahir ke dunia? Saya pasti akan sangat bingung.”

Tiba-tiba saya bangkit dan berkata, "Anakku, apa yang kau butuhkan ialah seorang Bapak.”

“Ya. Itulah jawaban yang tepat. Saya membutuhkan seorang bapak. Sejak kecil saya merasa sebagai anak yang terbuang. Sejak kecil, saya merasa hidup dalam kehidupan yang pincang. Waktu kecil saya biasa menangis karena cemburu pada seorang anak yang diajak nonton sepak bola oleh bapaknya. Saya sudah dinasibkan merasai cacat kehidupan. Apa yang akan saya pegang akan ikut cacat pula. Saya anak yang terbuang. Seharusnyalah selalu tetap terbuang.”

Nenek moyang kita zaman dahulu akan berkata, “Seorang lelaki harus segera bangkit apabila ia jatuh tersungkur, memahami cacat dan kejatuhan diri sendiri memang sangat baik, tetapi lebih mulia lagi kalau ia segera bangkit kembali dan melangkah lagi. Anakku Fajar, akulah bapakmu. Marilah saya bimbing kau supaya bangkit dari segala keruwetan ini. Fajar, saya sekarang bapakmu. Menurutlah sekarang padaku.”

Demikianlah, setelah pertemuan itu, hari demi hari kami bersama berusaha keras untuk melenyapkan keruwetannya. Sekarang hasilnya sudah sangat lumayan. Herman, saya harap kau mengerti ceritaku ini.

Anakmu, Fajar, membutuhkan ayahnya. Kerjaku tak akan sempurna sebelum kau sendiri ikut serta. Kasihanilah pemuda yang berbakat itu, akhirnya ia, toh, juga darah dagingmu sendiri. Betapa saja hasil yang akan kita capai, apabila engkau sudi pergi kepadanya dan berkata.

“Anakku, aku datang untuk minta maaf. Kesalahanku padamu sangat besar, tetapi berilah saya kesempatan untuk bangkit kembali dari kesalahanku. Berilah saya kesempatan untuk membimbingmu dan bersama-sama membangun segala yang retak. Anakku, marilah kita bersikap sebagai anak dan bapak.”

Herman, saya tak mencoba mencampuri urusan pribadimu mengenai perkawinanmu. Tetapi, apa pun juga sebab musababnya, saya tak bisa melihat baiknya perceraian dalam perkawinan. Perkawinan berarti saling pemasrahan badan dan jiwa yang mutlak antardua kekasih. Pemasrahan mutlak berarti terjadi hanya sekali dan untuk selama-lamanya. Segala yang retak dapat dibangunkan, yang bengkok dapat diluruskan, kenapa mesti ada perceraian? Perceraian selamanya mendatangkan kesengsaraan.

Anakmu Fajar dalam suasana ruwet dan gelisah. Sebagai daun kering di dalam angin, merasa sepi dan terbuang. Siapakah yang bertanggung jawab?



Sumber: W.S. Rendra, "Ia Sudah Bertualang", N.V. Nusantara, 1963

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama