Cerpen Pencopet dan Narapidana Sel Karya Sekar Jatiningrum

“Copet! Copet! Itu ada copet! Tangkap sebelum ia kabur!” kata salah satu warga.

Keringat bercucuran deras dari dahi si pria. Baju lusuhnya sudah basah seperti habis mandi. Nafasnya menderu seperti banteng yang siap diadu. Langkah kaki secepat kaki macan, ia kerahkan untuk pergi dari tempat tersebut. Matanya fokus dan tajam melihat celah-celah kesempatan di berbagai kesempitan. Berlari secepat angin melewati gang sempit kecil dan bau pesing. Menabrak warga gang dan berakhir dengan teriak cacian. Menabrak barang dan sampah yang susah ia hindari. Menengok ke belakang memastikan apakah masih ada secepat ia berlari macam angin. Ternyata ada! Astaga ia terkeroyok. Habis sudah riwayatnya jika gagal. Amukan massa yang membawa parang, entok, panci, sapu dan alat rumah tangga lainnya siap menghujam di tubuhnya. Ia akan dihakimi habis-habisan. Bahkan mungkin dirinya akan habis dengan merenggang nyawa.

“Hey berhenti!” teriak salah satu bapak berseragam dengan membawa pistol yang ia pegang di kedua tangannya.

Namun, lagi-lagi si pria tidak mau mengalah. Ia harus bisa lolos dari maut ini. Ia tidak ingin masuk ke dalam bui kemudian membusuk di sana. Bagaimana dengan anak istrinya di rumah jika ia tidak mencari nafkah. Walaupun ia tahu ini nafkah haram.

Kecepatan kaki bak angin yang berhembus ia tambah. Tidak hanya menerjang apapun di depannya. Namun ia juga beraksi dengan lompatan ala adegan action yang biasa ia lihat di rumah Pak RT ketika malam minggu tiba.

“Berhenti! Saya bilang berhenti sekarang juga!” dan Dor! Sepertinya bapak berseragam sudah mulai muntab. Ia perlihatkan kebolehannya dalam menembak peluru jarak jauh ke langit-langit hampa di atas sana. Satu tembakan telah melayang dengan suara yang terdengar dan memekakkan telinga. Sontak saja warga gang menjadi takut. Mereka buru-buru masuk rumah masing-masing untuk berlindung sambil melihat dari balik jendela.

Degup jantung si pria terdengar seperti drum yang dipukul dengan keras. Dadanya naik turun menahan rasa takut, khawatir, lelah semua menjadi satu. Tidak sempat lagi ia mengusap keringat yang sudah memandikkannya siang itu. Namun sayang, karena kecepatan kaki si pria tidak sama dengan keseimbangan tubuhnya. Ia terjerambab jatuh dengan keras ke tanah bebatuan yang kasar. Terlihat dari wajahnya ia menahan sakit dan lelah yang teramat. Satu tetes keringat terjatuh di tanah. Sebelum ia sempat bangkit dari jatuhnya. Dengan sigap dan cepat bapak berseragam datang. Menarik kerah bajunya dengan kasar. Memaksanya bangkit dari jatuh dan rasa sakitnya.

“Ikut kami ke kantor! Sebelum kau kena hakim warga!” katanya menyentak. Si pria tidak dapat mengelak. Ia memasrahkan diri tanpa adanya perlawanan sama sekali. Ia biarkan bapak berseragam memborgol kedua tangannya dengan cepat. Pasrah dengan menundukkan kepala dalam, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimana dengan Sumi istrinya dan bagaimana dengan Sarti putri semata wayangnya. Bayangan dari kedua perempuan tersebut terus membuntutinya hingga ia digiring ke mobil bapak berseragam. Sorakkan huuuu!!!… dari warga gang, serta makian pedas terlontar dari mulut mereka satu persatu. Ada yang geram sekali hingga ingin memukul si pria dengan parang yang ia bawa. Namun bapak berseragam dengan tangkas langsung menepisnya. Aku akan masuk dalam bui. Aku akan membusuk di tempat laknat itu, aku tidak dapat memberi Sumi dan Sarti nafkah lagi. Aku akan menyusahkan mereka. Aku akan dicibir habis-habisan oleh tetangga, dan Sumi serta Sarti lah yang harus menanggung itu semua. Astaga! Namun yang paling bahaya dari semua kemungkinan adalah bagaimana jika Sarti tahu bapaknya seorang berandal. Apa yang musti aku jelaskan pada Sarti putri tujuh tahunku tersebut. Mengetahui bapaknya hanyalah sebuah sampah di pasar. Yang menjadi sampah masyarakat.

“Sepuluh tahun penjara!” keputusan hakim sudah bulat. Bapak hakim dengan lingkar perut yang berlebihan. Menjadikannya susah bernafas mengetuk palu tanda keputusan akhir tidak dapat diganggu gugat. Si pria tidak dapat memberikan perlawanan atau pembelaan mengenai dirinya. Penjara sepuluh tahun karena masalah sepele. Apakah itu sepadan. Memang benar mengambil barang orang tanpa permisi tidak diperbolehkan dalam agama. Apalagi jika dengan memaksa. Namun yang mengherankan mengapa hukum di negeri ini dapat menjadi begitu berat bagi kalangan seperti si pria ini. Sumi sang istri yang menyaksikan hanya mampu terisak pelan di kursi tempat duduknya. Ia menyeka airmata yang tak hentinya turun dengan jilbab berwarna pudar hadiah si pria untuk istri lima tahun lalu.

“Maafkan bojomu iki nduk…”, kata si pria seraya menitik airmata yang sedari tadi ia tahan.

“Ndak papa Pak. Semoga ini jadi pelajaran untuk kita semua. Bapak harus terima dengan ikhlas nggeh. Sumi ngerti niat bapak melakukan itu sae. Nanging Pak, mboten koyo niku carane. Kae salah Pak. Bapak salah carane”, kata Sumi lagi-lagi menyeka airmatanya dengan jilbab pudarnya.

“Nduk Bapak mau kamu jaga Sarti baik-baik. Nduk, harus bisa kerja lebih ben iso ngeragati Sarti. Terus Bapak mau nduk, jangan bilang ke Sarti nek bapak di sini. Bilang saja bapak lagi pergi jauh, terus ndak tahu kapan pulang. Tapi yang jelas bapak akan pulang. Ngerti nggeh nduk?”, kata si pria menahan tangis.

“Njeh pak”, kata Sumi tegar.

“Waktu tujuh menit habis silakan masuk ke dalam sel kembali”, kata bapak berseragam yang berjaga di pintu.

“Bapak pamit nggeh? Salam buat Sarti. Salamu’alaikum”

“Walaikumsalam”

Untuk pertama kalinya si pria masuk ke dalam bui. Ditemani dengan jeruji besi yang dingin dan berkarat. Ditemani dengan keramik kotor tak terawat. Ditemani dengan coretan di tembok hasil menghitung hari selama di bui tersebut oleh narapidana yang lain. Ditemani beberapa narapidana yang terdiam, hening dan menunduk dengan tatapan kosong serta jiwa yang kosong. Terlihat sekali bahwa narapidana di sel ini sepertinya sama dengan si pria. Mereka dari kalangan rendahan. Setelah diselidiki ternyata mereka narapidana yang sama kasus dengan si pria. Anggapan hakim berlinggar perut berlebih itu keterlaluan. Ada petani yang mencuri sebuah pohon mangga tetangganya kemudian dipidana. Ada kakek tua dengan kasusnya mencuri sandal yang tidak sepasang. Ada seseorang anak muda bekas pembantu yang dituduh mencuri piring antik majikkannya. Kasus mereka sangat elit di mata hakim berlinggar perut berlebihan.

Ditambah dengan si pria pencopet yang mencuri uang berjumlah tiga puluh ribu rupiah dari pedagang pasar yang kaya akan harta dan pohon nangka. Hasil curiannya tersebut bukan untuknya melainkan untuk anak istirnya. Dengan mempertaruhkan nyawa ia melakukan kejahataan elit bagi si hakim. Namun anehnya di ujung sana ada narapidana yang berpenampilan bukan seperti narapidana yang lain. Wajahnya bersih, putih dan mulus. Berbeda dengan wajah si pria dan nara lainnya, yang hitam legam mirip sawo busuk. Perawakannya menarik dan tampak sehat bugar. Tak seperti yang lain. Kecil, dekil, kusam, kotor dan bau. Ia tampak sangat santai, berbeda dengan narapidana lain yang tampak gelisah. Sambil memandangi langit terkadang ia senyum-senyum sendiri. Si pria yakin ia bukan sembarang penjahat. Ia pasti penjahat kelas tinggi. Terlihat sekali dari gaya dan sikapnya yang santai saja.

Kemudian si pria mendekati pria putih mulus tadi sambil bertanya, “Apa kabar pak?” tanya si pria.

“Baik”, jawabnya sambil sedikit menyingkir. Barangkali ia takut menjadi dekil dan bau jika dekat-dekat dengan si pria.

“Kasus apa pak?” tanya si pria lagi.

“Saya tidak punya kasus, hanya ingin mampir saja ke sini”, jawabnya sambil menyilangkan tangan, mendongkak sedikit kepala congkak.

Si pria merasa heran dengan bapak barusan. Ia tidak memiliki kasus namun ia duduk di bui bersama narapidana berkasus elit. Apa ia penjahat kelas tinggi sungguhan? Mendengar hal tersebut si pria menjadi mbatin, “Apakah ia pembunuh? Sepertinya tidak, tangannya sangat bersih dan mulus, serta tidak ada goresan bekas luka yang menandakan bahwa ia pembunuh. Apakah ia pencuri? Dilihat dari penampilannya sepertinya ia orang yang berada, tidak mungkin ia pencuri kelas got kotor gang. Apakah ia pencopet sepertiku? Sepertinya tidak ia bukan seperti pencopet pasar yang harus berlari sekuat tenaga untuk menghindari bapak berseragam. Lalu apa kasusnya?”

Dari celah-celah jendela kecil yang terbuat dari batu bata. Terlihat bahwa sinar matahari mulai memudar. Dan semakin lama semakin gelap. Menyisakan narapidana di bui ini semakin terdiam menunduk, hening dan melamun beradu dengan pikirannya masing-masing di luar sana. Namun berbeda dengan bapak tadi. Ia tetap terlihat santai saja. Bahkan terkadang ia menyapa bapak berseragam dengan ramah. Dan anehnya lagi bapak berseragam sangat ramah pula terhadapnya. Si pria berfikir “Ah aku ingin seperti bapak ini. Ia terlihat begitu ramah dan para bapak berseragam pun juga jadi ramah dengannya. Aku juga ingin seperti itu Ah!”, pikir si pria.

Kemudian dengan inisatif tersebut ia mencoba menyapa bapak berseragam dengan berucap “Selamat malam pak” katanya ramah dengan senyum. Namun anehnya bapak berseragam malah berkata kasar tidak mengenakan “Kau diam di tempat. Kau tidak ingin kepala kau bolong bukan?!” si pria langsung diam tertunduk ketakutan. Ia berpikir apa salahnya. Mengapa bapak berseragam berbeda sikap padanya. Tidak seperti dengan bapak mulus bersih tadi.

Lampu bui sedikit demi sedikit mulai berkurang. Hanya beberapa saja yang dinyalakan. Terlihat dua bapak berseragam yang berjaga tepat di bui si pria. Ditemani dengan televisi berantena, kopi hitam yang tinggal setengah gelas, berbagai cemilan hingga serpihannya berserakan di lantai, kunci bui yang terpasang di samping kiri bapak berseragam yang sudah tertidur pulas. Sedangkan temannya setengah tidur setengah sadar. Disaat keadaan mulai sepi, narapidana yang lainnya pun juga sudah mulai tertidur di lantai. Tumpuk-tumpukkan melawan rasa dingin. Diikuti dengan tepukan tangan sekali dua kali untuk membunuh makhuk penghisap darah.

Si pria belum dapat tidur. Ia sibuk memikirkan Sumi dan Sarti di kampung sana. Pikirannya melayang hingga kemana-mana. Ia sibuk melamun hingga rasa kantuk tidak dapat mengalahkannya. Ternyata hal ini sama dengan bapak bersih mulus tadi. Ia juga belum tidur.

Kemudian si pria bertanya “Belum tidur pak?”

“Belum, saya lagi menunggu teman”

“Teman pak?” jawab si pria heran.

“Iya teman saya sering berkunjung ketika malam seperti ini.”

“Bukankah jam kunjung bukan sekarang ya pak?”

“Memang bukan, namun teman saya ini teman yang istimewa ia dapat berkunjung kapan pun ia mau. Tidak ada yang dapat mencegahnya.”

“Oh begitu ya pak”

Bapak mulus bersih tadi hanya mengangguk tersenyum seakan-akan ia akan segera lolos dari bui ini.

Tiba-tiba datang seorang pria berjas rapi sepertinya ia orang penting. Ia datang sendirian sambil membawa koper berukuran cukup besar. Ia berkacamata hitam sambil terus kebal-kebul meniup cerutunya.

“Ah! Ia sudah datang”

Aku menengok ke pria berkaca mata hitam tadi. Sepertinya aku kenal ia. Si pria dapat mengenali dari linggar perutnya yang berlebihan. Ia datang dengan senyum ala orang tinggi.

“Lama menunggu?” katanya.

“Tidak, aku sedang menikmati malam ini ditemani dengan pria kurus ini”

“Hahaha ayo pergi, kau tahu bukan Cecilia tidak suka menuggu. Keburu ia memiliki banyak pelanggan kita bisa tidak dapat antrian”, katanya sambil tertawa.

Dan dengan mudahnya pria berkaca hitam mengambil kunci dari bapak berseragam. Sekali tarik langsung lepas. Mendengar itu bapak berseragam yang setengah tidur setengah sadar terbangun. Ia hanya tersenyum dan berkata “Eh bapak silahkan pak.” katanya ringan kemudian tertidur.

Melihat itu si pria hanya duduk terbengong melihat ini semua. Apa-apaan ini! Pria berkaca mata hitam membuka bui. Kemudian bapak bersih mulus keluar melangkah ringan.

“Bagaimana dengan pesangonnya beres bukan?”

“Beres dong. Negara kita ini sangat baik sekali. Mereka selalu memberikan kita pesangon di manapun kita berada. Bahkan aku yang di pengadilan saja tetap mendapat pesangon. Dan kau yang di bui juga tetap bisa mendapat pesangon. Aku sangat cinta pada Negara ini!” kata pria berkaca mata hitam sambil tertawa.

“Benar sekali! Aku juga cinta pada Negara ini. Aku ingin seperti ini terus. Duduk di bui ini tanpa melakukan apapun kemudian malamnya aku mendapat pesangon. Ah! Hidup memang sangat indah” kata bapak bersih mulus tertawa.

Si pria tidak terlalu paham dengan orang-orang barusan. Ia lulus sekolah dasar saja tidak. Bagaimana ia akan paham. Namun ia berharap lebih baik berkerja untuk Negara seperti bapak-bapak barusan daripada menjadi copet. Daripada menjadi copet namun tidak mendapat apa-apa. Lebih menjadi seperti mereka, tidak melakukan apa-apa namun selalu mendapat pesangon.

“Seandainya aku dapat bekerja untuk Negara ini, pasti aku dapat banyak pesangon” kata si pria yang sedang melihat bapak-bapak tadi melangkah pergi.

- Tamat -

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama