Cerpen Ngelmu Sigar Rasa Karya KH. A. Mustofa Bisri



Aku beruntung bisa bertemu dengan Mbah Joned.

Kabar yang sampai kepadaku sebelumnya, tidak setiap orang bisa bertemu atau ditemui kiai sepuh yang melegenda itu. Bahkan, konon ada yang sudah sowan 12 kali tidak pernah bertemu atau tidak ditemui oleh beliau.

Menurut kepercayaan orang-orang yang mengenalnya, Mbah Joned memang tidak selalu bersedia ditemui.

Ada seorang jenderal yang sudah menunggu seharian, gagal bertemu dengan beliau. Tetapi, seorang kusir dokar malah disambut di depan pintu rumah beliau dengan penuh penghormatan.

Kabarnya Mbah Joned tahu tujuan setiap orang yang akan sowan. Dan, berdasarkan tujuan si tamu itulah, Mbah Joned bersedia menemui atau tidak.

Wallahualam, yang penting alhamdulillah aku ditemui beliau. Aku dan beberapa tamu yang lain ditemui Mbah Joned di ‘ruang tamu’-nya, sebuah kamar yang pengap. Hanya ada sebuah kursi di ruang itu, kursi besar yang beliau duduki. Sedangkan kami, tamu-tamunya, dipersilakan duduk di dipan yang rupanya tempat beliau tidur. Dipan bambu itu beralaskan tikar compang-camping dan di sana-sini, menumpuk pakaian-pakaian bercampur dengan kitab-kitab yang hampir semua kelihatan sudah kuno. Kami disuguhi minuman yang berbeda-beda dengan cangkir yang berbeda-beda pula. Ada yang mendapat teh dalam cangkir porselen, ada yang kopi dalam cangkir kaleng, ada yang wedang jahe dalam cangkir tanpa pegangan, dsb.

Konon, semua itu ada maknanya, tetapi entah, aku sendiri tak begitu mengerti. Aku sendiri mendapat minuman legen–nira yang baru disadap–dalam gelas bambu. Makanannya, semua rebusan: jagung, ketela, kacang, pisang, dan gendoyo, semangka muda.

Rata-rata tamu yang bersamaku tidak menyampaikan maksud apa-apa sebelum ditanya atau didawuhi. Mereka hanya menunggu apa kata Mbah Joned dan segera pamit pulang setelah disodori tangan beliau untuk bersalaman.

Aku sengaja menunggu mereka semua pergi dan agaknya Mbah Joned sendiri arif tentang hal ini. Beliau tidak menanyaiku apa-apa, sebelum semua tamu yang lain pergi.

“Nah, sekarang tinggal kita bertiga, silakan, sampaikan keperluan sampeyan!” kata Mbah Joned ramah.

Hampir saja aku bertanya, kok bertiga? Siapa yang lain? Untung aku segera menyadari bahwa yang dimaksud tentu kami berdua dan Allah. Maka, aku langsung memberanikan diri menyampaikan maksudku, ingin memohon ijazah* dari beliau.

“Wah, Sampeyan beruntung,” kata Mbah Joned lagi sambil mengawasi diriku seperti mengawasi makhluk aneh, “Hari ini aku sedang murah hati. Sampeyan akan aku beri ijazah istimewa. Ngelmu yang akan aku ijazahkan kepada Sampeyan ini sudah jarang dipunyai orang zaman sekarang dan belum pernah aku ijazahkan kepada orang lain.”

Hatiku berbunga-bunga mendengar dawuh Mbah Joned itu, tetapi agak deg-degan juga aku ketika beliau melanjutkan, “Ya, asal Sampeyan sanggup dan berhasil menerimanya.” Apa kira-kira maksud beliau? Aku tidak perlu terlalu lama bertanya-tanya karena kemudian beliau bangkit dari kursi antiknya dan beranjak duduk di dipan, di sampingku. Dipegangnya pundakku dan dihadapkan ke arah beliau. Kami berhadap-hadapan kini. “Sampeyan sudah siap?”

Aku mengangguk ragu-ragu.

“Yang mantap! Siap atau tidak?”

“Siap, Mbah!”

“Aku akan merapalkan bacaannya dan tidak boleh Sampeyan tulis! Siap?”

“Ya, Mbah!”

Kemudian Mbah Joned merapalkan bacaan yang terdiri dari lafal-lafal Arab campur Jawa.

“Nah, Sampeyan sudah menangkapnya?”

Aku bingung.

“Jika apa yang aku rapalkan tadi Sampeyan bisa hafal, berarti ngelmu ini jodoh untuk Sampeyan. Kalau tidak ya sudah, tidak jodoh namanya.”

Aku diam saja karena memang hanya sebagian saja yang bisa aku tangkap dan hafal.

“Baiklah, hari ini Sampeyan memang beruntung, aku lagi murah hati. Aku akan membacanya sekali lagi. Dengarkan baik-baik! Siap?”

Aku mengangguk.

Mbah Joned kembali merapalkan bacaannya, kali ini lebih cepat dari yang pertama tadi. Kemudian dipandanginya wajahku dan katanya memerintah, “Coba Sampeyan ulangi apa yang baru aku baca!”

Dengan memeras ingatan, alhamdulillah, aku berhasil mengulangi apa yang beliau baca.

Mbah Joned langsung menangkap tanganku, disalaminya, “Selamat! Jodoh! Sampeyan berhasil!”

Kemudian diterangkan tata caranya mengamalkan ngelmu yang beliau sebut sebagai Sigar Raga itu.

Setelah aku memahami semua penjelasannya, aku pun pamit sambil berkali-kali menyampaikan terima kasih.

Di sepanjang jalan dalam perjalanan pulang, aku ulang-ulang bacaan ijazah Mbah Joned itu, agar tidak hilang dari ingatan.

***

Rasanya tidak sabar untuk segera mengamalkan ngelmu Sigar Raga pemberian Mbah Joned. Segera setelah sampai rumah, aku langsung mempersiapkan diri.

Inilah yang lama aku idam-idamkan, mengamalkan ngelmu Mbah Joned yang terkenal ampuh itu.

Singkat cerita, aku benar-benar melakukan puasa mutih** selama tujuh hari. Mula-mula ibuku menanyakan juga, tetapi setelah aku katakan bahwa aku hanya ingin tirakat, beliau pun tak bertanya-tanya lagi.

Begitulah, pada malam hari kedelapan, aku praktikkan tata cara yang diajarkan Mbah Joned. Aku berpakaian serbaputih dan tidur telentang di atas tanah sendirian di tengah malam, lalu aku rapalkan bacaannya dan aku bayangkan diriku keluar dari tubuhku yang telentang.

Ajaib.

Mungkin bacaan itu memperkuat konsentrasiku, atau bagaimana, entahlah. Yang jelas aku tiba-tiba bisa membayangkan sangat jelas diriku sendiri keluar dari tubuhku yang telentang.

Pelan-pelan diriku meninggalkan tubuhku. Sambil telentang kulihat diriku tersenyum menjauhiku. Ketika sampai di pintu, aku membalik melihat diriku yang telentang dan tersenyum pula kepadaku. Dan, sesuai wejangan Mbah Joned, aku pun kemudian berkata kepada diriku yang telentang mengawasiku, “Mus, ingsun arep lungo, siro kario nang ngomah!” (Mus, aku pergi ya, kamu tinggal saja di rumah!).

Kulihat diriku mengangguk dan melambaikan tangan. Aku pun pergi meninggalkan diriku.
***

Aku termasuk aktivis termuda dalam partaiku.

Siang malam tenaga dan pikiranku aku curahkan untuk partai. Rapat-rapat, turba ke daerah-daerah, dan tentu saja kampanye terselubung maupun resmi, aku jalani dengan penuh semangat. Aku ikuti dan teladani semua sikap dan gerak- gerik seniorku. Bahkan, tak mengapa, aku rela, kadang-kadang menjadi pesuruhnya atau keluarganya, di kantor maupun di rumah.

Dan, jerih-payahku tidak sia-sia. Akhirnya aku terpilih menjadi salah satu ketua di partai tingkat pusat. Dalam pencalonan aku termasuk urutan jadi di DPR.

Ketika sudah duduk terhormat sebagai wakil rakyat, inilah saat menuai jerih payahku selama ini. Aku mendapat perumahan yang cukup mentereng dan mobil bergengsi. Gajiku besar. Belum lagi jika dihitung macam- macam tunjangan. Masih ada pemasukan-pemasukan tambahan, seperti jika ada kenalan yang membutuhkan jasaku untuk memperoleh jabatan ini-itu, aku selalu mendapatkan persenan yang lumayan.

Koleksi mobilku dan jumlah simpanan dalam rekeningku di berbagai bank terus bertambah.

Pendek kata, hidupku makmur kini. Selamat tinggal hidup sulit!

Bila aku turba ke daerah, semuanya sudah diatur ‘anak buah’-ku. Aku tinggal datang menggunakan pesawat, lalu di daerah sudah ada yang menjemput. Pekerjaanku tinggal menyampaikan informasi tentang perkembangan politik aktual dan memberikan brifing-brifing. Kalau capek, hotel berbintang sudah disiapkan untukku komplet dengan tukang pijat yang yahud. Semua orang menghormatiku. Bicara dan sikapku selalu dibenarkan oleh semua orang yang ada di sekelilingku. Setiap kali aku bermusyawarah dengan para pembantuku dan bertanya sesuatu, selalu mereka menjawab serempak, “Apa yang baik menurut Bapak, itulah yang terbaik menurut kami.”

Juga ketika aku membisikkan keinginanku ‘menyimpan’ artis cantik favoritku kepada orang kepercayaanku, spontan dia mendukungnya seratus persen. Bahkan, dia bersedia memfasilitasi. Aku tinggal tahu beres.

Entah bagaimana caranya, orang kepercayaanku itu bisa saja mendapatkan rumah yang molek di pinggiran kota untuk si artis kesayanganku. Setiap kali aku merasa pusing memikirkan tetek-bengek urusan kantor atau Dewan, aku segera meluncur dengan BMW atau Marcedesku ke rumah molek itu. Dan, artis kesayanganku sudah menungguku dengan manja. Pusing pun lenyap.

Seharian aku bermain-main dan berpesta-pora dengan kesayanganku. Sedap juga hidup begini.

***

Ketika reses panjang, semua anggota DPR dari partaiku mendapat tugas pembinaan ke daerah. Atas usulku disetujui bahwa tugas semua anggota melakukan pembinaan ke daerah masing-masing.

Alhamdulillah. Sebenarnya latar belakang usulku itu bersifat pribadi. Aku ingin menjenguk rumah yang sudah cukup lama kutinggalkan.

Aku berangkat naik pesawat, kemudian dari kota provinsi aku melanjutkan dengan taksi. Aku sengaja tidak menggunakan mobil pribadi karena aku pikir akan sangat capek di perjalanan. Lagi pula, dalam ketentuan lumsum disebutkan transportasi menggunakan pesawat.

Aku hanya membawa tas kecil dan sekadar oleh-oleh yang dibelikan stafku ketika di airport, “Untuk ibunda, madu Sumbawa,” katanya.

Magrib, taksiku sampai tujuan. Kampung halamanku ternyata masih tetap seperti sediakala. Tidak terlalu kumuh, tetapi kentara sekali sebagai daerah miskin.

Di pinggir-pinggir jalan beberapa lampu 10 watt yang dipasang di tiang-tiang bambu–dengan kabel berseliweran–sudah mulai menyala. Listrik di pinggir jalan ini sajalah yang menunjukkan bahwa kampungku tersentuh pembangunan.

Ada sedikit rasa malu singgah sebentar, tetapi ah, mengapa dipikirin. Memasuki halaman rumahku, aku agak gembira.

Tampak lebih bersih dan pagar hidup dari tanaman luntas di depan rumah kelihatan terawat baik.

Ini pasti kerja Lik Tukin, adik ibu yang selama ini mengawani dan membantunya. Orang tua itu memang sering keluar rajinnya.

Setelah membayar taksi, aku masih berdiri di depan rumahku yang terbuat dari kayu tanpa dicat. Masih tetap seperti dulu. Di depan pintu ada lampu 10 watt seperti lampu-lampu di jalan. Aku berharap ibuku atau Lik Tukin mendengar suara erangan taksi dan keluar menyambutku. Tetapi, ternyata lengang-lengang saja. Ke mana gerangan ibu? Dan, ke mana pula Lik Tukin? Pintu rumah tidak terkunci, berarti mereka tidak sedang keluar.

Aku masuk rumah. Ternyata keadaaan di dalam rumah juga bersih, meski tidak ada perubahan. Meja-kursi masih meja-kursi yang dulu. Juga sekesel kuno yang ada gambarnya burak dan Masjid Demak, masih berdiri menyekat ruang.

Ke mana saja uang yang setiap kali aku kirimkan untuk memperbaiki dan melengkapi perabotan rumah?

Mungkin dibelikan sawah oleh ibu. Syukurlah jika begitu. Investasi berupa sawah atau tanah memang menguntungkan. Tak bakal merugi.

Baru saja aku meletakkan tasku, kudengar suara lirih dari dalam salah satu kamar, kamar ibuku.

“Mus ya?” Ah, itu dia suara ibu.

Aku merasa lega sekaligus heran, bagaimana beliau tahu aku datang?

“Likmu Tukin sudah datang?”

Aku tak menjawab, tetapi langsung masuk ke kamar sambil menjinjing bungkusan oleh-oleh madu Sumbawa.

Ibu sedang bersujud, mencopot rukuhnya. Meski membelakangiku, tampaknya ibu merasakan kehadiranku. Beliau terus berbicara, meski aku bingung menangkap maksudnya, “Kau belikan pesananku, Mus?”

Lo, pesanan apa? Aku benar-benar bingung. Mengapa ibu biasa-biasa saja aku datang? Tidak menyambutku. Bahkan, seperti sama sekali tidak terkejut atau gembira.

Sejenak aku masih berdiri tertegun sambil mengawasinya mengemasi mukenanya. Tetapi, akhirnya aku memutuskan menyapanya. “Bu, aku datang!”

Ibu membalikkan tubuhnya sambil tertawa.

Matanya terbelalak melihat diriku, tetapi tawanya makin berderai. “Lo, Mus, apa-apaan kau ini?”

katanya di sela-sela derai tawanya.

Ini bukan sambutan ibu untuk anaknya yang lama tak pulang, pikirku. “Kapan kau datang dan akan terus pergi ke mana malam-malam begini?” tanyanya semakin membuatku tidak mengerti.

“Itu pakaian siapa yang kaupakai? Kayak orang kota saja! Itu madu yang kupesan ya?!”

Dalam kebingungan aku hampiri beliau dan aku cium tangannya. Tetapi aneh. Seperti geli, ibu menarik tangannya. “Hei, Mus, kesambet di mana kau ini?”

Aku sungguh tidak mengerti. Tak ada satu patah kata pun yang diucapkan ibu aku pahami.

Sampai masuk seorang lelaki berpakaian putih-putih sambil menjinjing bungkusan persis seperti bungkusan oleh-oleh yang dibelikan stafku. Madu Sumbawa.

Aku berdiri mematung mengawasinya. Demikian pula dia….

***

Selesai berjemaah magrib di masjid, bersama Haji Muin, aku mampir ke tokonya, mengambil madu Sumbawa titipan ibu.

Ternyata di tempat sahabat almarhum ayahku itu aku ditahan untuk makan malam. Mudah- mudahan saja ibu tidak gelisah menungguku.

Sebenarnya setelah makan, Haji Muin masih menahanku ingin mengajak ngobrol, tetapi setelah aku ingatkan tentang ibuku yang sendirian di rumah, dia memaklumi dan membiarkan aku pulang.

Sampai di rumah, tanpa menoleh, aku langsung menuju ke kamar ibu. Aku kaget, kulihat seorang lelaki ada di kamar ibuku. Orang itu memandangku seperti melihat hantu. Aku terpaku memandanginya. Demikian pula dia….

***

Perempuan dalam kamar itu terus tertawa melihat anaknya tiba-tiba menjadi seperti patung. Ketika beranjak ke dapur sambil membawa bungkusan madu Sumbawa pun masih terdengar derai tawanya.

“Mus, Mus, aneh-aneh saja kau!” katanya di sela-sela tawanya yang semakin geli.

***

Rembang, 9 Ramadan 1423

*ijazah = pemberian doa, wirid, atau bacaan-bacaan, ada kepercayaan: doa, wirid, atau bacaan-bacaan yang diamalkan tanpa ijazah, tidak manjur, bahkan bisa berbahaya.

** mutih = dari kata putih, puasa dengan berbuka tanpa lauk. Biasanya hanya dengan nasi dan garam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama