Benar kata orang, lebih mudah menikah daripada bercerai. Dan lebih mudah mengatakan cinta daripada memutuskan tali asmara.
Paling tidak begitulah yang dipikirkan Ajo Kawir. Ia harus mengeluarkan ongkos untuk pergi bersama Mia Mia ke Tokyo, ketika nilai yen sedang begitu congkak atas rupiah, demi niat mengakhiri pernikahan mereka; demi kepercayaan atas takhayul. Tak apa, soal ongkos, ia bisa menggunakan anggaran studi banding. Itu sudah biasa.
Keduanya menginap di sebuah hotel bernama Tokyu Inn, di sebuah distrik bernama Kichijoji. Bukan tanpa alasan mereka berada di sana. Tak jauh dari hotel, hanya berjalan kaki sekitar lima menit ke bagian belakang, mereka akan sampai ke Taman Inokashira. Di musim semi, orang- orang akan berkumpul di sekitar pohon ceri, menikmati bunga- bunga yang bermekaran. Tapi, saat itu akhir musim gugur, daun-daun berwarna kuning, dan taman dipenuhi remaja-remaja yang berlari untuk menghangatkan badan dan orang tua berselimut mantel memberi makan bebek-bebek air. Taman itulah tujuan sesungguhnya Ajo Kawir: Taman Patah Hati.
Mia Mia tak tahu alasan sebenarnya mereka ke sana, kecuali apa yang dipikirkannya sendiri. Ia juga tak tahu apa-apa tentang Taman Inokashira. Ketika suatu malam Ajo Kawir mengajaknya makan di restoran Jepang, dan Ajo Kawir memperlihatkan tiket perjalanan ke Tokyo, yang terbersit di pikirannya dengan segera hanyalah rencana untuk berjalan-jalan ke Harajuku, serta Museum Ghibli.
”Akhirnya kita berbulan madu. Tak apalah meski telat lima tahun. Aku memaafkanmu,” begitu kata Mia Mia.
Ajo Kawir hanya tersenyum kecil.
Ajo Kawir berhasil meyakinkan Mia Mia agar mereka tinggal di Kichijoji. Selain fakta bahwa ia telah memesan hotel tersebut jauh hari, ia meyakinkan Mia Mia bahwa tempat mereka akan tinggal tak jauh dari Museum Ghibli. Mereka bisa datang ke sana setiap sore jika mau. Lagipula daerah itu merupakan tempat yang tenang, sangat cocok untuk pasangan yang berbulan madu (sebab begitulah Mia Mia berpikir tentang perjalanan mereka), meski lumayan jauh dari Harajuku.
”Tapi jangan khawatir,” kata Ajo Kawir. ”Menurut peta dan wikitravel, kita cuma perlu naik kereta sekali dari Stasiun Kichijoji ke Shibuya. Dari sana tinggal jalan kaki, atau kembali naik kereta dalam perjalanan satu stasiun, untuk sampai ke Harajuku.”
”Yakin?”
”Kalaupun tersesat, tidak mungkin sampai ke Tibet.”
Begitulah kemudian mereka tinggal di Tokyu Inn, tak jauh dari Stasiun Kichijoji. Di luar dugaan Ajo Kawir, Mia Mia menyukai keputusannya untuk tinggal di tempat tersebut. Porter hotel, dengan bahasa Inggris yang payah, meyakinkannya bahwa Shibuya memang tidak jauh. Lagipula dengan sistem transportasi Tokyo yang begitu hebat, pergi ke mana pun boleh dianggap gampang dan tak jauh. Mia Mia membuka tirai jendela, dan roman mukanya cerah melihat jalan di depan hotel. Diam-diam, Ajo Kawir agak sedih menyadari ia akan mengoyak roman gembira itu. Membayangkan tak lama lagi, ia akan membuat perempuan itu patah hati.
Ajo Kawir percaya takhayul. Bahkan banyak temannya yakin, jabatannya (untuk kedua kali ia terpilih sebagai anggota Dewan, belum lama ini) juga diperoleh dengan takhayul. Dan perjalanannya ke Jepang, boleh juga disebut sebagai perjalanan memercayai takhayul.
”Pergilah ke Taman Inokashira dengan kekasih atau istrimu, kamu akan segera menemukan hubungan kalian hancur total.” Begitu seorang teman merekomendasikan. Ia membuka internet dan mencari tahu. Banyak orang mengatakan hal yang sama. Ia percaya dan segera merencanakan perjalanan ke Tokyo, begitu waktu memungkinkan. ”Semua orang tahu ongkos perceraian mahal. Jangan terlalu pelit, pergilah ke Jepang,” kata sang teman lagi.
Ajo Kawir pernah mendengar tempat semacam itu, tempat untuk patah hati, tempat yang akan mengutuk siapa pun yang datang dengan kehancuran hubungan asmara, beberapa tahun lalu ketika ia masih berpacaran dengan Mia Mia. Saat itu ia belum mendengar tentang Taman Inokashira, tapi ada tempat semacam itu, hanya sepuluh jam perjalanan darat dari Jakarta, satu jam saja dengan pesawat, dan semua dibayar dengan rupiah: Prambanan.
Tidak masalah apakah hal itu benar atau tidak, tapi begitu mendengarnya dari beberapa orang, Ajo Kawir langsung percaya. Saat itu ia belum pernah bepergian jauh bersama Mia Mia. Sebenarnya Mia Mia ingin pergi berdua ke Bali. Ajo Kawir meyakinkannya bahwa pergi ke Yogya juga bakalan sangat romantis. Mia Mia akhirnya mau pergi ke sana, tentu setelah Ajo Kawir berjanji, setelah itu mereka akan berencana pergi ke Bali.
Perjalanan berdua itu sungguh membuat mereka kikuk. Sebenarnya Ajo Kawir ingin menyewa dua kamar hotel (ingat, pikirnya, ia berniat menghentikan hubungan mereka). Tapi gagasan itu konyol bagi sepasang kekasih yang memperoleh kesempatan jalan ke luar kota hanya berdua. Jalan tengah dibuatnya: mereka tinggal satu kamar meski dengan ranjang terpisah, dan Ajo Kawir berusaha sebisanya untuk tak pernah melihat Mia Mia saat gadis itu berganti pakaian (yang juga melakukannya secara malu-malu).
Di hari kedua, Ajo Kawir mengajaknya ke Prambanan.
”Apa menariknya?” tanya Mia Mia. ”Cuma tumpukan batu, kan?”
Tentu saja Ajo Kawir tak mungkin mengatakan kutukan Roro Jongrang: bahwa jika sepasang kekasih pergi mengunjungi Prambanan, hubungan mereka akan berakhir, sebagaimana ia dengar dari beberapa orang. Ia hanya berkata, ”Bukan sekadar batu. Ada patung perempuan seksi.”
Mia Mia tak tertarik perempuan seksi, apalagi sekadar patung. Tapi menyadari patung perempuan seksi barangkali penting bagi seorang laki-laki, akhirnya ia menyerah dan mau diajak ke sana. Mereka hanya satu jam di Prambanan, hanya untuk menghabiskan dua rol film, serta perdebatan panjang dengan pedagang asongan.
Bagaimanapun misi itu gagal. Malamnya, tak tertahankan, mereka bercumbu dan untuk pertama kali bercinta. Seminggu kemudian mereka melanjutkan percintaan itu di sebuah hotel di daerah Cikini, Jakarta. Sebulan kemudian mereka melakukannya kembali di Bali. Bukan cuma mereka tidak berhasil mengakhiri hubungan: tak lama setelah serangkaian percintaan itu, Mia Mia keguguran dan Ajo Kawir (terpaksa) melamarnya.
Lima tahun kemudian, Ajo Kawir masih mencoba cara lain: Taman Patah Hati.
Mia Mia sedang pergi ke Sun Road. Itu merupakan daerah perbelanjaan di depan Stasiun Kichijoji. Cukup lima hari bagi Mia Mia untuk memiliki keberanian pergi sendiri. Ia bahkan sudah hapal bagaimana pergi ke Shibuya dan ke Shinzuku. Mia Mia senang menjelajahi Sun Road jika mereka tak punya rencana bepergian jauh.
”Aku tahu laki-laki tak bergairah dengan jendela toko,” kata Mia Mia sambil tertawa dan meninggalkan Ajo Kawir di hotel. Di hari pertama, Ajo Kawir mau menemani Mia Mia ke Sun Road, tapi ketika menemukan sepatu-sepatu, bahkan kimono, Made in Indonesia di sebuah toko, ia segera kehilangan selera.
Bagaimanapun, itu kesempatan bagi Ajo Kawir untuk menyelinap ke Taman Inokashira. Sampai hari kelima itu, ia belum juga mengajak Mia Mia ke sana meski hanya lima menit dari hotel ke arah yang berkebalikan dari Sun Road. Ia merencanakan kunjungan bersama itu di hari terakhir mereka berada di sana.
Saat itu sudah pukul sepuluh pagi. Tak ada matahari. Ajo Kawir menuruni tangga menuju taman sambil melesakkan kedua tangannya ke dalam saku mantel. Ia senang musim dingin belum datang. Ia tak tahan dingin. Ia duduk di bangku dan memandang ke tengah danau. Jauh di seberang sana, tampak sampan- sampan fiber berbentuk burung menunggu penyewa.
”Para pemuda Jepang biasanya memutuskan kekasih mereka di atas sampan, di tengah danau,” kata temannya. ”Bukan hal yang aneh jika kamu melihat seorang gadis sesenggukan patah hati di tengah danau.” Temannya juga memberi tahu, jika seorang gadis diajak kencan ke Taman Inokashira, mereka segera menyadari hubungannya segera berakhir. Mereka biasanya datang dengan roman muka yang murung.
Tapi saat itu tak seorang pun naik ke atas sampan. Mungkin hari masih pagi. Mungkin bukan musim liburan. Dan mungkin saja semua orang sudah mengetahui reputasi buruk sampan- sampan tersebut dalam hal membuat sepasang kekasih patah hati.
Seperti Roro Jongrang, di Taman Inokashira terdapat Benzaiten, Sang Dewi. Ia akan mengutuk pasangan mana pun dalam cinta yang berakhir, terutama jika mereka naik ke atas sampan di tengah danau. Tentu saja banyak orang yang tak percaya hal itu berhubungan dengan Benzaiten, yang pada dasarnya versi Jepang dari Saraswati. Mereka berdalih, perkara orang- orang patah hati di atas sampan danau Inokashira hanyalah ulah para pemuda kurang ajar: jika mereka memutuskan kekasih di atas kereta atau di restoran, tentu akan banyak orang yang melihat sang kekasih menangis, jika mereka melakukannya di atas danau, hanya mereka berdua dan langit membentang jadi saksi momen itu.
Sekali lagi Ajo Kawir tak memedulikan apakah kutukan itu benar atau tidak. Ia bahkan tak kenal siapa Benzaiten atau Saraswati, sebagaimana ia tak tahu- menahu kisah di balik Roro Jongrang. Keinginannya sederhana saja: mengakhiri hubungannya dengan Mia Mia.
Ia berjalan melintasi jembatan yang membelah danau itu. Di tengah jembatan tampak seorang lelaki tua, berdiri dan bersandar ke pagar jembatan sambil memerhatikan bebek-bebek berenang. Ia menoleh ketika Ajo Kawir datang mendekat. Mata mereka beradu. Dengan bahasa Inggris yang (entah kenapa, juga) buruk, lelaki tua itu berkata, ”Harus kita akui, tak ada yang lebih menyenangkan kecuali berjalan-jalan seorang diri di Taman Patah Hati.”
”Mia Mia,” katanya, ”Aku ingin mengakhiri hubungan kita.”
Ajo Kawir mengatakan itu setelah basa-basi panjang dan bertele-tele. Saat itu mereka tengah berada di atas sampan. Langit musim gugur lumayan cerah.
Tujuh tahun lalu ia melakukan sebuah perjalanan yang dikutukinya setiap malam setelah itu. Atas saran guru politiknya, ia menemui seorang lelaki tua di pedalaman kaki Gunung Halimun. Perjalanan itu memakan waktu sepanjang malam, menentang arus sungai kecil, sebab begitulah syaratnya. Lelaki tua itu tinggal di sebuah gubuk, dengan beberapa orang yang tampaknya merupakan pengikut atau murid. Ketika Ajo Kawir sampai di depan rumahnya, lelaki tua itu langsung menyambutnya:
”Tidurlah dulu. Aku tahu apa tujuanmu kemari.”
Tanpa harus mengiyakan atau menyanggah, Ajo Kawir yang kelelahan langsung tertidur. Ketika terbangun, konon tiga hari kemudian, ia hanya melihat lelaki tua itu di depannya tengah memegang tempurung kelapa berisi air bening.
”Kamu akan memperoleh segala keinginanmu kecuali satu: tidak ada perempuan lain kecuali yang akan datang segera setelah kamu pulang. Dan jangan sekali-kali membuatnya patah hati, atau kamu akan kehilangan segala yang berharga.”
Ia meminum air di tempurung kelapa sebagai kesepakatan mereka.
Begitulah kemudian Mia Mia datang ke dalam hidupnya seminggu kemudian.
Tentu saja Mia Mia juga tak ada kurangnya. Kalau mau jujur, ia cantik, pintar, dan pandai bergaul. Meskipun begitu, ada satu hal yang Ajo Kawir tak bisa terima, dan itulah yang membuatnya ingin mengakhiri hubungannya sejak awal dan menyesali perjanjiannya dengan si lelaki tua: Ajo Kawir percaya Mia Mia bukan manusia.
Ajo Kawir hampir melupakan keinginan untuk mengakhiri hubungannya dengan Mia Mia, hingga suatu hari ia bertemu seorang gadis, seorang biduan. Ia berkali-kali pergi menonton pertunjukannya, dan yakin ia jatuh cinta. Mia Mia segera mengetahuinya, dan untuk pertama kali mengancam, ”Jangan pernah kamu sentuh gadis itu.”
Ia bicara nasib sialnya kepada seorang teman, yang kemudian memberitahunya mengenai Taman Inokashira. ”Tak yakin bisa diakali begitu, tapi cobalah. Siapa tahu?”
Dan di sinilah, di tengah danau Taman Inokashira, dengan mulutnya sendiri, ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Mia Mia.
Mia Mia memandangnya tak percaya. ”Karena gadis biduan itu?”
Ajo Kawir tak menjawab.
Udara tiba-tiba menjadi dingin. Angin berembus dan daun- daun yang tersisa kembali rontok, membentuk tirai daun berwarna kuning. Tiga ekor gagak terbang rendah dan berteriak nyaring. Suara mereka melengking membuat Ajo Kawir menggigil. Lama tak ada suara di antara mereka, hingga Mia Mia mengayuh sampan ke tepi. Mia Mia menghentikan sampan di tepi danau dan kembali memandang Ajo Kawir.
”Sejujurnya aku patah hati, tapi tak ada alasan untuk tak menerima kenyataan, kan? Jangan tunggu aku di hotel. Aku mungkin tak akan pulang ke Jakarta. Aku akan tinggal di sini, berteman dengan Benzaiten.” Setelah mengatakan itu, Mia Mia turun dari sampan ke dek. Sejenak ia berdiri di tepi danau, masih memandang Ajo Kawir yang tak berani balas menatapnya. ”Kuharap kamu bahagia dengan gadis itu.”
Ucapan Mia Mia tak terdengar seperti doa.
_____
Sumber: "Taman Patah Hati", https://cerpenkompas.wordpress.com/2009/08/23/taman-patah-hati/.