Jadi kita ini apa?’ tanyaku sambil mengunyah batagor yang mulai dingin.
‘Indah,’ kata Ardi, memanggil namaku. ‘Kita ini ya Homo Sapiens. Manusia. Lo tuh tidur mulu sih pas lagi pelajaran biologi.’
Ardi sering menghindari pertanyaan yang sulit dengan candaan, tapi kali ini aku butuh penjelasan. Kami berdua sudah dekat selama setahun belakang, dan pada momen kelulusan SMA saat ini, di depan abang-abang batagor depan sekolah yang sedang mencabut jenggotnya dengan dua keping uang 500 rupiah, aku rasa pertanyaanku cukup wajar.
Hubungan kami dimulai dari pelajaran Bahasa Indonesia. Dimana kami, yang terpaksa tergabung dalam satu kelompok setelah ditunjuk oleh guru, harus membuat makalah dan mempresentasikan Jakarta Di Tahun 2023. Sekarang tahun 2002, apa pun bisa terjadi 21 tahun lagi. Kami diminta menggunakan imajinasi kami untuk membayangkannya.
Tugas ini untuk tiga orang, tapi teman kami yang satu lagi tiba-tiba kena diare akut. ‘Pasti gara-gara dia sempet makan bakso tikus yang ada di ujung jalan,’ kata Ardi saat itu. Dia melanjutkan, ‘Gak apa-apa, Indah, kita berjuang untuk makalah kita di perpustakaan, biar dia berjuang di WC rumahnya sendiri.’
Sebelumnya, kami tidak akrab. Ardi adalah tipe pelajar yang selalu punya cara untuk tidur tanpa ketahuan guru di dalam kelas, tapi ketika ujian tiba, nilainya tiba-tiba bagus. Menyebalkan, memang.
Sementara aku tipe anak rajin yang selalu mencatat pelajaran apa pun, yang dicari semua orang menjelang ulangan. Nilaiku nyaris sempurna, dan jika ketika ujian aku tidak dapat nilai 9, aku kepikiran satu minggu. Dari SD sampai sekarang, kelas 3 SMA ini, hanya dua kali aku rangking di luar tiga besar. Aku bangga untuk itu.
Ketika mengerjakan makalah, Ardi dan aku malah lebih banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol. Topik demi topik bergulir, dan dengan selera humor Ardi yang garing-garing menyebalkan, aku sesekali mengeluarkan tawa.
‘Gue kayaknya salah menilai lo,’ kataku di sela-sela mengerjakan Pendahuluan. ‘Gue pikir lo orangnya dingin, judes, pendiam.’
‘Sama dong,’ kata Ardi. ‘Gue pikir lo orangnya membosankan, tipe siswa taat aturan gitu. Kanebo kering yang dilaminating gitu.’
‘Ya emang, aturan ada buat diturutin,’ kataku.
‘Hidup gak sekaku itu ah,’ kata Ardi. ‘Kalau janji, nah itu baru harus diturutin.’
‘Oke. Tadi lo janji bakal pergi ke Snappy, print makalah ini, terus lo yang presentasi besok. Bisa dipegang gak tuh?’
‘Lihat muka gue, apakah ini muka orang yang dengan gampang bisa ngebatalin janji?’ tanya Ardi, sambil meringis lebar. Alisnya tebal, hidungnya mancung, dan matanya agak kecokelatan. Wajahnya seperti orang yang lolos audisi model majalah remaja, tapi gagal masuk ke putaran berikutnya. ‘Ganteng nanggung’ mungkin adalah frase yang tepat untuk menggambarkan dirinya.
Ketika harinya tiba, Ardi betul menepati janjinya.
Dia melakukan presentasi di depan semua orang dengan memukau. Senyumannya yang karismatik membuat setiap siswa terbuai dengan apa yang dia bawa.
‘Menurut kelompok kami, di Jakarta masa depan, bajaj bisa terbang,’ kata Ardi di depan kelas. ‘Bayangin juga bunyinya. Suara bajaj yang terbawa angin. Prepepet siuuu prepepet siuuu. Ciiiiittttt. Nah itu suara bajajnya tiba-tiba belok.’ Tidak ada yang tertawa, kecuali aku sendiri.
Entah kenapa, itu membuatku merasa istimewa.
***
Sorenya, sepulang sekolah, Ardi mengajakku pergi makan untuk merayakan “presentasi Bahasa Indonesia yang telah selesai”. Kami pergi ke Blok M Plaza, tinggal menyebrang dari SMA 6, sekolah kami. Berjalan berdua, karena teman kelompok yang satu lagi itu, kembali kumat diarenya. ‘Sebenarnya dia makan apa sih?’ tanya Ardi.
‘Tadi sih gue lihat di kantin dia makan gado-gado aja,’ kataku.
‘Gak mungkin, kan, lontongnya dari daging tikus?’ tanya Ardi.
Kami berdua lalu tertawa.
Kami berjalan, lalu membahas makalah yang kami kerjakan. Aku tampak khawatir, berkali-kali berkata seandainya lebih banyak gambar di makalah itu, seandainya kita bahas dari sisi politiknya, seandainya, dan seandainya.
‘Lo terlalu banyak penyesalan ah,’ kata Ardi. ‘Makalahnya udah selesai, gak ada gunanya juga kita mikirin kemungkinan-kemungkinan yang udah lewat.’
‘Gitu ya,’ kataku.
‘Gitu,’ kata Ardi. ‘Udah lah, hari ini kita jalan-jalan aja. Di kemungkinan yang sekarang terjadi. Dapet jelek atau pun dapet bagus, yang penting kan kita udah usaha.’
Hari itu seperti kepingan sebuah puzzle, perlahan kami saling memperlihatkan potongan-potongan diri kami, dan melengkapinya, hingga terlihat seutuhnya.
Ketika makan berdua Hoka-Hoka Bento di lantai bawah, aku jadi tahu bahwa Ardi tidak suka popularitas, menurut Ardi konsep dicintai banyak orang itu mengerikan. Jadi populer adalah beban yang terlalu berat. Satu orang saja bisa kecewa dengan diri kita, gimana kalau banyak orang yang kecewa? ‘Popularitas itu sebuah kutukan,’ kata Ardi.
Sebagai orang yang mengganggap hidup jadi artis itu menyenangkan, tentu aku tidak setuju, menurutku popularitas bisa mendatangkan banyak manfaat. Tapi aku paham jalan berpikirnya, dan aku mengagumi itu.
Mengagumi ada laki-laki 17 tahun yang isi kepalanya berbeda dari yang lainnya. Dimana, pada umur segini, popularitas adalah segalanya. Dimana, respect di tongkrongan adalah alasan untuk bahagia.
Minggu depannya, kami berjalan berdua lagi, masih ke Blok M Plaza. Kala itu, setelah main ding-dong di bioskop, kami berdebat lama di lorong tentang mengapa punya kelompok pertemanan itu hanya akan membuat kehidupan di SMA merana.
‘Remaja itu susah membuat keputusan sendiri. Makanya mereka suka meminta saran teman-temannya. Masalahnya, jarang yang punya pengalaman hidup cukup banyak untuk punya solusi,’ kata Ardi. ‘Jadinya, malah melakukan saran yang salah. Makanya banyak remaja melakukan tindakan-tindakan bodoh.’
‘Lo kan remaja?’
‘Bener juga sih,’ kata Ardi. ‘Bodoh juga ya gue.’
Sekali lagi aku paham maksud Ardi, tapi aku rasa pemikiran itu juga timbul karena dia tidak punya banyak teman di sekolah. Tidak ada yang mampu menandingi pola pikir Ardi yang ajaib. Pantas banyak gosip bahwa dia adalah orang yang dingin. Terkadang, kita sering menilai buruk orang yang tidak kita pahami. Ardi contoh korban dari penilaian itu.
Semakin lama mengenal Ardi, semakin aku merasa menemukan sebuah harta karun: seorang laki-laki yang dilewatkan begitu banyak perempuan lain di sekolah. Sosok laki-laki yang tidak cocok berada di dalam semrawutnya pergaulan masa muda, lalu asing sendirian.
‘Lo ngapain sih deket-deket sama cowok aneh itu,’ kata seorang teman sekelasku. ‘Ardi itu waktu pensi sekolah dia malah mojok di lapangan bola sambil baca buku. Pantesan gak punya temen.’
Teman yang lain bilang, ‘Dia pernah ngelarang temen-temen kita ngerjain anak kelas 1. Masa senior mau ngapus senioritas. Bener sih, orang yang kebanyakan baca buku gak usah didengerin.’
‘Gue denger dia korban santet,’ kata temen yang lain lagi, kali ini gosipnya lumayan ngaco.
Padahal, Ardi bukan orang yang aneh. Dia hanya orang yang salah dimengerti. Itu adalah dua hal yang berbeda.
Dari sekali pergi bersama, kami jadi punya jadwal rutin tidak resmi. Setiap malam minggu, Ardi akan mengajakku keluar. Kegiatannya pun beraneka ragam. Kami pernah pergi hanya untuk makan gulai yang sedang dibicarakan banyak orang. Kami juga pernah keluar hanya untuk menemani aku membeli Chupacups, lalu duduk di pinggiran Circle K sambil ngomongin orang yang lagi belanja.
Pada suatu malam, selepas menonon film Scary Movie 2, lagi-lagi di Blok M Plaza, kami berdiskusi panjang soal luka masa lalu.
‘Apa kejadian di masa lalu yang bikin lo suka mimpi, kebangun tengah malam?’ tanya Ardi.
‘Waktu bokap gue marahin gue pernah dapat nilai 5 di rapot dia bilang coba aja kamu lebih keras lagi belajarnya,’ kataku. ‘Dia bilang Papa sedih kalau kamu nilainya jelek. Gue pernah mimpi dikejar angka 5. Serem banget.’
Mata Ardi terbuka lebar. ‘Pantesan hidup lo penuh penyesalan ya. Selalu memikirinkan kalau aja, kalau aja. Ternyata trauma sama 5 toh.’
‘Ya gak gitu juga,’ kataku. ‘Kalau lo apa? Mimpi yang bikin kebangun?’
‘Dulu gue main bola di sekolah, gue tahu kalau gue sundul bolanya, kepala gue bisa kena tiang gawang. Bener deh. Kepala gue kebentur tiang. Gue pingsan. Tapi gol. Abis itu gue mimpi berkali-kali kejedot tiang,’ kata Ardi.
‘Tapi itu gak penting banget ngorbanin kepala cuma buat gol,’ kataku.
‘Kalau kita gak coba, kita gak pernah tahu kan?’ kata Ardi.
Tanpa terasa, entah siapa yang memulai, di saat berjalan berdua, kami jadi bergandengan tangan menyusuri jembatan dalam mall. Anehnya, tidak ada rasa canggung atau cemas. Tidak ada malu atau ragu. Di saat itu aku tahu, kami punya sesuatu yang istimewa. Teman, tapi bukan hanya teman.
***
‘Jadi kita ini apa?’ tanyaku sekali lagi di momen kelulusan SMA, sembari memotong batagor di atas piring. ‘Jangan ngeles lagi.’
‘Lo adalah orang yang paling istimewa saat ini di hidup gue.’
‘Temen?’
Ardi terdiam. ‘Kalau temen itu boleh kangen malem-malem gak sih?’
‘Gak tahu, kalau temen boleh… sayang gak?’ tanyaku. ‘Karena itu yang terjadi.’
Ardi tersenyum lebar. Wajahnya yang menyebalkan itu terlihat jelas di bawah sinar matahari yang terik. ‘Kita jelas bukan teman aja, Indah. Tapi gue gak mau kalau kita juga pacaran.’
‘Kenapa?’ tanyaku.
‘Karena minggu depan gue sudah pergi ke Jogjakarta,’ kata dia.
Seperti sebuah film yang berjalan terlalu cepat, minggu depannya kami duduk berdua di sebuah cafe di stasiun Gambir. Pengeras suara di stasiun mengisi seluruh ruangan yang ada, memanggil penumpang yang terlambat. Ardi mengaduk-aduk gelas kopi di depannya. Sebentar lagi dia akan menaiki keretanya untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada.
Dia selalu ingin pergi dari Jakarta.
Dia tidak pernah nyaman dengan betapa sesaknya kota ini. Betapa penghuninya seperti terburu-buru pergi dari satu sisi ke yang lainnya, kadang dengan topeng masing-masing yang mereka jarang lepas. Betapa orang lupa untuk sekali-kali, bernafas di tengah nasib. Betapa orang lupa, hidup ini lebih dari sekadar kerja dan menghabiskan uang, dan memamerkannya. Dia bilang, ‘Kota ini terlalu hebat untuk gue. Kota ini membuat gue takut.’
‘Tapi kan kota ini membawa banyak kesempatan.’
‘Itu yang mau gue cari di Jogja. Kesempatan sendiri, di tempat yang gue senangi.’
Aku memandangi mata Ardi, dalam.
‘Kenapa?’ tanya dia.
‘Kenapa sih lo gak mau lebih dari teman? Punya, uh, komitmen?’ tanyaku, melepaskan semua gengsiku. Ingin minta kepastian untuk terakhir kalinya.
‘Indah, kita ini masih 18 tahun. Masih bodoh-bodohnya. Kita aja gak tahu siapa diri kita sebenarnya? Kepribadian kita masih berkembang, kenapa kita mau mengikat diri sama orang lain?’
‘Lo gak sayang sama gue?’
‘Sayang. Tapi kalau kita pacaran, gue udah bisa bayangin. Pacaran nih. Pindah ke kota lain. LDR. Bete-betean. Ketemu orang baru. Putus. Kita saling benci satu sama lain, lalu gak akan saling ngobrol sampai tua.’
Aku mengangguk. ‘Oh, lo mau ketemu cewek-cewek lain ya, di perkuliahan nanti?’
‘Kurang tepat. Gue mau ketemu kemungkinan lain dalam hidup.’ Ardi melihat tajam ke gue. ‘Sama kayak lo, akan ketemu orang-orang baru dalam hidup. Di kuliah, di pekerjaan, di kehidupan. Dunia ini terlalu luas hanya untuk menggantungkan hati lo ke orang yang temui waktu SMA. Gak mungkin kita, di umur yang semuda ini, kita sudah menemukan orang yang sempurna, ya kan?’
Aku sebenarnya ingin menjawab, tapi bagi gue, Ardi, lo adalah cowok yang sempurna. Aku mengurungkan mengucapkan itu, dan bertanya, ‘Jadi ini perpisahan?’
‘Anggap aja begitu,’ kata Ardi.
‘Kalau lo salah, gimana?’ tanyaku. Aku berkata lagi, ‘Kalau ternyata nih, lo baru sadar gue adalah cewek yang paling sempurna untuk lo, dan gara-gara ketemu gue lo gak akan pernah bisa cinta sama orang lain lagi, karena lo akan bandingin semua cewek sama gue, gimana?’
‘Kok lo jadi pede banget ya?’ tanya Ardi, sambil menggelengkan kepalanya, jahil.
Aku berkata, ‘Seandainya kita gak satu kelompok waktu bikin makalah itu. Mungkin gue gak perlu ngerasain perasaan kayak gini.’
‘Tuh kan, seandainya lagi,’ kata Ardi. Dia diam lalu berkata, ‘Gue tahu yang terjadi di Jakarta Tahun 2023.’
‘Kenapa? Mau ada bajaj terbang?’
Ardi menggeleng. ‘Kita bikin janji ya, kalau di tahun 2023, 21 tahun lagi, kita sama-sama belum nikah, kita nikah.’
Aku mulai naik pitam. ‘Di momen kayak gini, lo mau bikin janji-janjian klise anak SMA?’
‘Kita kan anak SMA.’
‘Bukan itu poinnya. Lo gak tahu udah berapa temen kita yang sama bestfriend-nya ngomong begini? Ini geli banget Ardi.’
‘Yah, lo mau geli bareng gak?’ tanya Ardi. ‘Bolanya di elo.’
‘Dua puluh satu tahun lagi? Kita ketemu di tempat ini?’
‘Iya, di meja yang sama.’
‘Kalau cafe ini udah gak ada?’
‘Ya udah sih, geser ke tempat lain. Di sebelah paling ada Indomaret. Susah amat.’
‘Kalau ternyata lo udah nikah?’
‘Gue akan ceritakan seperti apa rasanya. Lo juga akan ceritakan seperti apa keluarga lo nanti. Anak lo nanti. Kita akan merayakan jalan yang kita ambil, hasil dari persimpangan yang saat ini sedang kita hadapi.’ Ardi tersenyum lebar. ‘Percaya deh, pertemuan kita akan ada gunanya.’
Aku mengangguk, menahan tangis. Ketika Ardi menaiki kereta itu, lalu pergi menjauh, baru aku tahu rasanya menangis sampai tidak bisa mengenali suara sendiri.
***
Dua puluh satu tahun berlalu seperti kedipan mata. Satu detik aku memakai baju SMA, detik berikutnya, aku memakai blazer Zara, menjadi mbak-mbak SCBD yang membawa tumbler kemana-mana. Sedetik kemudian, aku berjalan memasuki stasiun Gambir di sebuah sore yang terlalu cerah. Tahun 2023.
Di sini sekarang aku duduk, di meja yang sama ketika aku dan Ardi berjanji dulu. Tanggal yang sama, jam yang sama. Kafe ini masih bertahan, logonya saja yang lebih modern. Rasa kopinya masih sama, gulanya masih terlalu manis. Orang-orang masih tergesa-gesa menaiki kereta. Banyak yang sama. Aku dan Ardi yang sekarang berbeda, dua puluh satu tahun kemudian, kami tumbuh menjadi orang yang asing.
Setelah melepas kepergian Ardi di Gambir waktu itu, kami perlahan-lahan menjauh. SMS sempat berbalas, tapi lama kelamaan, dengan kehidupan baru, kami perlahan mulai hilang. Dia sempat add Yahoo Messenger milikku, chatting sebentar beberapa malam berturut-turut, lalu makin jarang, lalu Ardi tidak online lagi.
Ardi benar, kami sibuk dengan kehidupan baru. Aku sangat serius belajar di kampus. Pikiranku sederhana: jika aku malas di kampus, nilaiku jelek, maka aku tidak akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Setelah empat tahun, aku lolos dengan predikat cum laude.
Setelah itu aku melamar di perusahaan konsultan terkenal, diterima dan langsung menjadi karyawan yang dibanggakan. Inilah buah dari kerja keras, dengan memberikan yang terbaik di tiap kesempatan. Buah dari keinginan tidak ingin mengecewakan diriku sendiri. Rasanya manis sekali.
Aku bertemu dengan suamiku ketika menyebrang jalan pada sebuah sore, sepulang kantor. Hujan turun malu-malu, lalu ketika aku menutup rambut dengan tangan, seorang laki-laki dengan payung hitam berkata, ‘Boleh aku payungi?’ Aku iyakan.
Kami berjalan, berbicara, dan saling kenal satu sama lain. Seperti cinta yang kadang datang tidak sengaja, aku pun jatuh cinta tanpa persiapan. Kami jadi sering keluar, dan tidak lama kemudian, dia berniat melamarku. ‘Aku tidak ada niat untuk main-main dengan kamu,’ kata dia di sebuah restoran Korea, saat itu.
Karena ini sudah mulai serius, aku pastikan dia memang orang yang baik, aku menelpon beberapa teman yang kebetulan kenal dengannya, bertanya seperti apa dia orangnya. Proses memutuskan menikah aku perlakukan seperti orang yang sedang mencari partner bisnis: penuh permintaan rekomendasi dari orang lain.
Aku pun menikah dengan dia di suatu hari Sabtu di bulan Desember.
Pernikahan kecil yang romantis.
Di sinilah aku sekarang, di tahun 2023. Aku punya suami yang baik, pekerjaan yang membuatku bahagia, dan pada akhirnya, punya dua orang anak yang lucu-lucu.
Ardi tidak pernah ada di pikiranku selama ini. Waktu Facebook mulai ramai dipakai orang, aku sempat mencari akunnya, tapi tidak ketemu. Aku cuma dengar gosip-gosip saja tentang Ardi dari teman sekolah yang sempat bertemu denganku di sebuah resepsi. Aku dengar, Ardi menetap di sebuah rumah di Solo, di pinggiran kota. Aku juga dengar dia sibuk melukis dan menjualnya ke mancanegara. Dia, menurut beberapa sumber, memang tidak punya media sosial.
Reunian demi reunian SMA, Ardi juga tidak pernah datang. Teman-teman semakin banyak yang tidak tahu kabarnya. Semakin tahun berganti, orang semakin lupa dengan dirinya. Dia seperti hilang dari muka bumi. Tanpa jejak.
Inilah kenapa aku datang di Gambir sore ini.
Aku datang untuk mendengar kabar petualangan Ardi dalam hidupnya. Orang seunik Ardi pasti punya segudang cerita yang menyenangkan. Seperti apa pandangannya terhadap Twitter, Tiktok, Youtube. Ketiga hal yang tidak ada waktu kami muda dulu. Aku kangen sudut pandangnya yang sinis, tapi realistis.
Aku datang untuk menepati janji konyol dua orang anak SMA yang tidak mengerti apa-apa. Tapi, sepertinya Ardi tidak datang hari ini. Aku menunggu dari siang hingga menjelang malam. Kopi sudah ada tiga gelas, tapi Ardi juga tidak datang.
Aku mulai merasa bodoh.
Mana mungkin Ardi masih ingat, janji ini?
Sembari menunggu, aku baca Whatsapp dari suamiku. Dia bertanya, ‘Gimana ketemu dengan cinta monyetnya?’ Aku balas, ‘Kayaknya dia lupa.’ Suamiku memang mengizinkan aku bertemu dengan Ardi hari ini, dia bilang dengan gagah saat aku minta izin, ‘Biar kamu tahu kalau suami kamu ini pasti jauh lebih keren dari cinta-cintaanmu waktu SMA.’ Memang agak terlalu percaya diri dia, tapi itu yang aku suka.
Aku berdiri dan hendak beranjak pergi, dan di saat itu ada seorang laki-laki dengan jaket hitam masuk ke dalam. Aku mendengar dia berbicara kepada pelayan, ‘Boleh ditanyakan ke dalam, apakah ada pengunjung bernama Mbak Indah?’
Si pelayan terlihat bingung. Aku melihat ke arah dia dengan alis diangkat. Aku bertanya kepada dia, ‘Cari saya?’
Pemuda itu menghampiriku. Tubuhnya kurus, kulitnya sedikit gelap, wajahnya terlihat lelah. Ada kantung mata yang cukup besar untuk orang seusianya. Seolah dia perlu tenaga tambahan untuk keluar rumah hari ini. Dia lalu berkata, ‘Mbak Indah, saya temannya Ardi.’
Sekedip kemudian aku dan dia duduk berdua. Dia masih belum memperkenalkan namanya kepadaku. Kakinya bergoyang, tandanya dia tidak nyaman. Pelayan datang memberikan menu dan dia tolak dengan bilang bahwa dia tidak akan memesan apa-apa, orang ini lalu berkata kepaku, ‘Ardi tidak bisa datang.’
‘Kenapa?’
‘Karena dia sudah tidak ada. Tiga tahun lalu. Kecelakaan ketika ekspedisi.’
Aku hanya diam terpaku. Bingung bagaimana harus memproses ini semua. Aku tidak sedih, tapi ada sesuatu asing yang di dadaku, seperti kehilangan sesuatu yang tidak pernah kita miliki.
Tanpa diminta, teman Ardi ini lalu bercerita tentang dirinya. Dia adalah teman Ardi di studio lukis miliknya. Dia lalu bercerita hidupnya berubah semenjak bertemu dengan Ardi. Cara pandangnya terhadap dunia, caranya menghadapi persoalan, Ardi memberikan warna yang segar kepada hidupnya yang hitam-putih. Mereka pun jadi akrab, dan bersama-sama mereka mengembangkan studio lukis tersebut. ‘Ardi orang yang istimewa,’ katanya.
‘Ardi sudah menikah?’ tanyaku.
‘Belum. Ardi tidak pernah menikah. Ada beberapa perempuan yang mampir di hidupnya, tapi tidak pernah lama pacarannya. Selalu begitu. Dia seperti tidak pernah puas dengan pasangannya. Selalu ada yang kurang.
Saya juga sempat bertanya kenapa, Ardi bilang karena dia pernah kenal sama seorang perempuan waktu SMA, dimana dia cocok dan nyaman sekali, dan gara-gara ini dia selalu membandingkan perempuan lain yang datang dalam hidupnya kepada orang itu. Saya tanya siapa namanya, dan nama yang dia sebut, nama Mbak. Indah.’
Aku tersenyum tipis, ‘Dia bilang apa?’
‘Ardi cerita bagaimana kalian saling melengkapi kalimat masing-masing. Bagaimana kalian bisa ngobrol sampai diusir dari cafe tempat kalian malam mingguan. Bagaimana obrolan tentang kopi bisa berakhir kepada pertanyaan aneh seperti Timur Tengah itu sebenarnya di Timur atau di Tengah?’
Aku tertawa, ‘Iya kami pernah satu jam debat soal itu. Gak penting banget.’
Teman Ardi tersenyum.
Aku kembali bertanya, ‘Kenapa waktu itu dia tidak cari saya?’
‘Sudah,’ jawabnya. ‘Saya yang bantu dia waktu itu, cari lewat Facebook. Ardi kan gak suka main sosial media. Begitu saya kasih lihat Facebook Mbak, foto pertama yang dia lihat, adalah foto mbak Indah sama suami.’
‘Dia bilang apa?’
‘Ardi bilang, dia turut senang sama mbak Indah yang udah sukses dan berhasil dalam hidupnya.’
Teman Ardi melihatku, dia lalu melanjutkan, ‘Saya sempat ke Gambir waktu itu, ke Jakarta sama Ardi. Ada urusan pekerjaan. Ardi sempat bilang, kalau waktunya tiba dia mau ketemu sama Mbak Indah lagi, karena sudah janji dari SMA. Tanggalnya, hari ini, persis sehari setelah ulangtahun pernikahan saya, Mbak. Makanya saya ingat.
Dia sempat bilang, Mbak pasti akan datang, apa pun yang terjadi. Makanya saya datang hari ini, takutnya Mbak datang dan kecewa, karena Ardi tidak ada. Saya mau ngabarin itu saja, Mbak. Paling tidak ini adalah hal paling minimal yang saya bisa lakukan untuk teman saya. Biar orang tidak berpikir bahwa dia bisa ingkar janji.’
Aku hanya memainkan jari di atas gelas, masih tidak menangis. Ardi meninggalkan memori yang mendalam di kepalaku, tapi aku tidak tahu kenapa tidak menangis.
‘Saya pamit Mbak, biar mbak bisa memproses ini semua,’ kata Teman Ardi, beranjak pergi ke pintu keluar.
‘Sebentar,’ kataku. ‘Ardi pernah bilang gak, dia nyesel meninggalkan saya dulu?’
‘ Enggak, dia bilang dia gak nyesel meninggalkan Mbak. Soalnya, Mbak sekarang bahagia.’ Teman Ardi lalu tersenyum. ‘Saya pergi dulu, Mbak.’
***
Aku pulang ke rumah dengan rasa berat di dada, menyetir mobil dengan perlahan. Di jalan pulang aku melihat persimpangan demi persimpangan jalan. Di saat ini, aku tidak bisa melarang pikiranku untuk melamun jauh. Membayangkan semua kemungkinan yang hidup bisa berikan, dengan semua persimpangannya. Aku membayangkan seperti apa hidupku jika menyusul Ardi ketika lulus SMA itu?
Apa yang terjadi, jika aku tidak menyebrang jalan waktu itu, tidak bertemu suamiku, lalu Ardi melihatku masih single di Facebook. Dia mengirimkan message, berisi bahwa dia baru tahu aku orang yang tepat untuknya. Lalu, kami pada akhirnya bersama-sama. Seperti apa hidup kami? Mungkin setiap sore kami melamun berdua di teras studio lukisnya. Seperti apa wajah anak-anak kami, lebih ke siapakah wajah mereka? Apa yang akan kami lakukan hari ini?
Selama ini aku merasa aku telah melakukan segalanya, mengambil jalan terbaik dalam hidup. Belajar keras untuk pekerjaan bagus. Selektif memilih laki-laki hingga punya keluarga bahagia. Tapi, hari ini, aku memikirkan: apakah ada hidup yang lebih baik menanti dengan Ardi? Hidup seperti apa, di persimpangan yang tidak aku ambil?
Lalu aku mulai berandai, apa yang akan Ardi bilang jika kami bertemu tadi, dan aku menceritakan semua tentang keraguanku atas pilihan hidupku saat ini, berpikir seandainya, seandainya, seperti biasanya. Lalu aku pasti tanya jadi apa gunanya pertemuan ini kalau cuma untuk bikin aku overthinking? Dia kan bilang waktu itu kalau pertemuan kita akan ada gunanya.
Tapi aku rasa tidak perlu bertemu Ardi untuk tahu jawabannya, karena aku kenal dia seperti apa. Aku yakin jika aku bertemu dia tadi, dan bertanya, ‘Jadi untuk apa kita ketemu lagi seperti ini?’ Dia pasti akan jawab, ‘Untuk tahu betapa manisnya sebuah penyesalan.’
Di mobil, aku mengedipkan mata. Terasa air mata yang hangat jatuh setetes, lalu makin lama, makin deras, seperti keran yang dibuka terlalu kencang. Dua puluh satu tahun kemudian, di sela persimpangan-persimpangan jalan yang aku lewati, kok bisa, dia masih mampu membuat aku menangis?
Sumber: Medium Raditya Dika, raditya-dika.medium.com.