Cerpen Mentari Jembatan Kayu Karya Elis Kartika



Pantulan sinar sang pagi kembali hadir setelah beberapa kali harus terbungkam oleh gumpalan pekat berarak di langit sana. Minggu kedua masa tahun ajaran baru bagi seluruh pengemban dan penimba ilmu. Bunyi tindihan dari para ban motor pada kayu ulin yang sebagian besarnya sudah menipis dan perlu paku di masing-masing sisinya, seakan meronta ingin dikuatkan dan diperbaiki letaknya yang sudah mulai bergeser ingin terlepas dari paku-paku longgar yang menancapnya. Juga seakan tak pernah berhenti menjadi lagu pagi hingga malam. Permukiman di atas pinggiran laut lepas yang sering disebut BTN Rawa Selambai itu sudah menjadi ikon dari kelurahan paling ujung di Kota Bontang, Kelurahan Loktuan.

Mentari namanya. Hidup di permukiman Rawa Selambai bertiga dengan Mamak dan adiknya. Mamaknya, biasa Ia panggil mamakle atau mamak saja, usianya masih sangat muda. Sayangnya usianya tersembunyikan oleh raut wajah yang seperti dua tahun lebih tua dari usia sebenarnya, dua puluh satu tahun. Mamak Mentari, biasa orang-orang memanggilnya. Setiap hari berjualan di depan PAUD Kasih Bunda di dekat rumahnya yang juga masih berada di jajaran jembatan kayu-kayu ulin yang siap rontok kapanpun. Anaknya sudah tiga. Mentari yang pertama, anaknya yang kedua sudah meninggal pada usia seminggu setelah dilahirkan. Biasa, kurangnya asupan gizi saat masih dalam kandungan. Anaknya yang ketiga, Salman. Efek suka menonton film India, dan mengidolakan Salman Khan, maka anaknya pun diberi nama Salman. Mentari berusia empat tahun, Salman baru berusia satu tahun. Bapak Mentari sudah empat bulan meninggalkan Kota Bontang demi merantau menjadi TKI illegal di Malaysia. Kehidupannya hanya terdengar setiap akhir pekan, walau terbatas dalam hitungan kurang dari lima menit. Kiriman nafkah masih lancar diterima Mamak Mentari setiap akhir bulan.

“Mak, aku ndak mau pakai sepatu. Sandal saja ya mak.” Pinta Mentari memastikan inginnya kepada mamaknya.

“Kenapa, Nak? Tidak apa-apa ini, kan sekolah harus pakai sepatu biar rapi.” Mamak mentari mencoba membujuk Mentari agar mau memakai sepatu sembari memperbaiki gendongan kainnya yang sedikit membuat pantat Salman hampir jatuh dari gendongan.

“Aih, sandal saja Mak. Mentari lebih suka warna sandal ini.” Mentari dengan cepat langsung memakai sandal karetnya yang berwarna ungu tua. Senada dengan warna seragam PAUD di sekolahnya, ungu dan putih. Mentari kemudian meraih plastik putih bening agak besar bertuliskan JCo, salah satu logo produk donat beraneka rasa yang bisa ditemui di supermarket besar. Beberapa bulan lalu, tetangga Mentari baru saja pulang dari Samarinda dan memberikannya buah tangan sekotak besar donat aneka rasa itu. Plastic JCo itu pun selama ini menjadi favorit Mentari untuk dibawa kemana-mana, pergi sekolah, pergi mengaji di masjid dekat rumah, dan nongkrong menonton om-om dekat rumahnya yang panen ikan setiap malam hari, dan jika beruntung, Mentari sering diberikan satu hingga tiga ekor ikan tongkol atau ikan apapun yang saat itu sedang dituai, kemudian lagi-lagi akan Mentari masukkan di kantung plastik Jco andalannya.

Hanya butuh dua menit Mentari sampai di sekolah kayu bekas masjid kecil di daerah Rawa Selambai itu. Sekolah hasil wakaf dari warga sekitar itu, saat ini menjadi satu-satunya PAUD yang terdaftar resmi oleh pemerintah kota. Masih lekat wujud bangunan tuanya yang terbuat dari kayu ulin dengan topangan kokoh di atas laut yang jika pasang, maka akan menimbulkan aroma seperti toilet bocor sepanjang hari. Jauh di belakangnya, Mamak Mentari sambil sesekali menyapa warga sekitar terus berjalan cepat menyusul Mentari dengan tangan kanannya menenteng sepasang sepatu hitam kecil milik Mentari. Berkaus kutang dan celana dalam, Salman hanya asyik memegangi dot susunya yang sudah habis sedari tadi menyaksikan Mentari dan Mamaknya meributkan pakai sepatu atau sandal.

“Mentari, kenapa pakai sandal lagi?” sapa Bunda Mia menyambutnya di pintu kawat bercat merah muda pagi itu. Bunda Mia, salah satu guru senior di antara empat guru lainnya di sekolah itu, cukup dikenal baik oleh warga Rawa Selambai. Selain disibukkan menjadi guru PAUD, beliau juga merupakan kader Posyandu dan PKK di Kelurahan Loktuan, sehingga jika menyebut namanya saja, pasti warga permukiman jembatan kayu sangat mengenal baik dengannya.

“Sandal ini lebih bagus warnanya, Bun. Seperti warna baju Mentari.” Dirinya masih berusaha menjelaskan kepada Bunda Mia, terengah-engah Mamak Mentari menyapa Bunda Mia yang terkejut melihat kaki telanjang Mamak Mentari di hadapannya.

“Setiap hari selalu seperti ini ya Bu. Sampai lupa pakai sandal juga mengejar Mentari.” Mamak Mentari hanya bisa tersenyum tidak enak hati dengan ucapan Bunda Mia pagi itu sembari menyodorkan sepasang sepatu hitam Mentari. Bunda Mia memaklumi pemandangan pagi itu. Bukan sekali waktu. Sudah sering. Mentari memang terlampau aktif dan termasuk anak yang cerdas bagi para Bunda di sekolahnya. Selalu maju duluan menawarkan diri untuk memimpin baris-berbaris, senam, berdoa, dan menyanyi bersama. Bahkan, jika jam sekolah usai, Mentari tidak langsung pulang. Ia masih betah untuk berlama-lama duduk di kelasnya sekedar merapikan susunan mainan-mainan edukasi yang berada di rak, atau menghabiskan beberapa buku bacaan yang sebenarnya sudah pernah Ia baca. Bunda Mia lah yang selalu memedulikan Mentari, menertawai dalam hati kelucuannya yang selalu menenteng tas plastik donat itu ke mana-mana. Jauh dari segala pemandangan yang sederhana pada diri Mentari. Tersimpan harapan besar Bunda Mia untuk Mentari. Seluruh murid di sekolah itu sebenarnya memiliki latar belakang yang sama. Anak-anak nelayan, kuli bangunan, tukang ojek, pekerja serabutan, dan ada juga yang hanya hidup dari santunan pemerintah kota atau sanak keluarga lainnya.

“Mentari kalau besar mau jadi apa?” jam sekolah sudah usai, seperti biasa, Bunda Mia mengajak Mentari mengobrol sembari menyibukkan diri membereskan kelas. Tanpa diminta, Mentari selalu berinisiatif membantunya.

“Mau jadi pembuat rumah yang besar, Bun!” Jawabnya dengan sangat antusias sembari melanjutkan membereskan mainan puzzle kayu yang berserakan.

“Oh, itu namanya arsitektur, Nak.”

“Asritek.. arsitek.. arstek.. arstertuk..?” Mentari sedikit kesulitan menyebutkan istilah tersebut.

“Ar-si-tek-tur, Mentari.” Bunda Mia mencoba mengeja supaya Mentari mudah menyebutkannya, Mentari dengan sedikit memicingkan mata memerhatikan mulut Bunda Mia di hadapannya.

“Uangnya banyak ndak Bunda?”

“Wah, banyak! Mentari bisa bangun sepuluh rumah nanti.”

“Waahhh! Nanti aku bangun buat Mamak ya Bunda, biar aku, Salman, dan Mamak ndak tidur di dekat kompor lagi.” Mulutnya sedikit meruncing ketika menyelesaikan ucapan terakhirnya. Rumah petak berukuran enam kali dua puluh empat meter milik Bapaknya itu cukup jelas terbayangkan oleh Bunda Mia yang perlahan menarik napas dalam kemudian tersenyum melihat Mentari yang masih sibuk menata mainan-mainan balok ke rak.
…………………………..

Mentari kecil pun beranjak besar, hingga masuk pada usia remaja. Masa sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas hingga kuliah, semua dibiayai oleh beasiswa perusahaan yang berada di lingkungan tempat tinggalnya. Mentari mengingat sangat baik segala bantuan dan semangat dari Bunda Mia yang mengarahkannya untuk mendaftar penerimaan beasiswa tersebut. Tidak ada kendala apapun, karena Bunda Mia yakin bahwa Mentari adalah anak yang mampu bersaing dengan anak-anak pintar lainnya. Mentari sudah menjadi anak muda sukses. Lulus kuliah tepat waktu, diterima bekerja di perusahaan yang memberikannya beasiswa, tidak menjadikannya sosok Mentari yang lupa daratan. Mentari kecil yang dulu selalu menenteng plastik donat ke mana-mana, sekarang sudah membopong tas ransel hitam berisi laptop dan tablet demi keperluan kerjanya.

Sudah hampir dua tahun Mentari bekerja di perusahaan bonafit dekat rumahnya, banyak mulut-mulut tetangga yang masih saja menyindir kehidupannya. Perkara rumah kecil milik Bapaknya yang belum pernah tersentuh dengan batako dan keramik. Jika dilihat perubahannya, permukiman di atas jembatan kayu itu saat ini sudah jarang ditemukan rumah kayu seperti dulu. Banyak warga yang sudah saling bersaing untuk merenovasi rumahnya dengan mengganti lantai kayu dan karpet plastiknya dengan marmer, atau sedikit demi sedikit mengubah dinding kayu ulinnya dengan batako putih atau merah. Seperti rumah-rumah di daratan pada umumnya.

“Mentari, Mamak gak masalah kalau kamu sudah tidak betah dengan lingkungan di sini.”

“Mamak kenapa? Mamak hari ini ada dengar omongan apa lagi?” menyandarkan setengah badannya di tembok kayu yang menyisakan coretan spidol karya Mentari sewaktu kecil, sedikit melirik ke arah Mamaknya yang sibuk menyiapkan makan malam.

“Siapa tau Mentari sudah malu tinggal di rumah dan lingkungan sini, Mamak ndak apa-apa kalau suatu waktu kamu mau menerima fasilitas rumah dari perusahaan itu.”

“Aku tidak akan pindah Mak sebelum Bapak pulang.” Dengan mimik wajah yang datar, Mentari menggapai piring kaca bening hadiah deterjen yang Ia hapal. Dan hampir semua piring dan gelas Mamaknya merupakan bonus dari membeli deterjen atau sabun colek.

“Bapakmu sudah lama tidak ada kabar. Uangnya pun tidak ada kabarnya. Nasib baik rumah kita ada tempelan papan Keluarga Fakir Miskin. Masih bisa makan, masih bisa belikan Salman kue cucur kesukaannya setiap pagi. Jangan diharapkan kembali. Mungkin sudah menikah lagi di sana. Mamak juga tidak mau ambil pusing. Selama masih ada kamu dan Salman yang temani Mamak setiap hari, sudah syukur.” Bergantian tangan mereka menyendok sayur sop hangat yang terakhir disendok Salman, maka hanya menyisakan kuah dan bawang goreng di dalamnya. Masakan Mamak Mentari selalu dengan porsi secukupnya, pas untuk tiga orang, sekali masak, sekali habis.

“Mak, sampai kapan pun, aku ndak mau renovasi rumah ini, atau pun pindah ke rumah dinas. Bersyukur ini rumah sendiri Mak, kita tidak sewa atau mengontrak milik orang lain. Biarlah kita hidup di sini. Tutup kuping saja, Mak. Besok aku copot papan Miskin di depan itu terus ke rumah Pak RT.” Mentari memunguti piring-piring kotor yang hanya menyisakan tulang ikan dan menumpuknya di baskom cucian piring. Seperti biasa, Salman tanpa diminta, menyusul kakaknya untuk membantu membilas cucian piring.

“Mentari, Salman, kalian sudah besar. Rumah ini terasa semakin sempit buat lalu-lalang.” Sembari melipat pakaian-pakaian yang seharian dijemur, Mamak Mentari terus saja mengeluarkan segala keluh kesahnya yang lama tersimpan rapat.

“Kan malah bagus. Mamak gak terlalu capek untuk bersih-bersih rumah, kita bisa hemat tidak membeli perabotan ini itu.” Salman membalasnya sembari mengelap kedua tangannya selesai membantu Mentari membilas cucian piring.

“Mak, Minggu depan ada temanku yang mau main ke rumah. Mamak nanti masak kapurung ya, lama ndak makan kapurung buatan Mamak.” Mentari segera duduk di hadapan Mamaknya membantu melipat pakaian.

“Kamu ndak malu dengan kondisi rumah begini, Mentari?” Mamaknya sedikit terkejut dengan pernyataan Mentari malam itu.

“Iya Kak. Kakak ndak malu?” Salman yang asyik memainkan gawainya pun ikut menambahi.

“Malu apa sih Mak, Dek? Harusnya kita bangga dengan keadaan kita sekarang.” Pelan Mentari menarik napas dalam-dalam, “Harusnya kita bersyukur, bangga, dengan rumah sempit dan kayu lapuk ini, ada Mamak yang dari dulu tidak pernah pusing memikirkan perabotan apa yang harus dibeli untuk menghias ruangan ini demi terlihat menarik oleh tetangga-tetangga, tagihan listrik dan air yang stabil, kita yang belum pernah sakit parah karena rumah yang sempit dan tidur selalu bersebelahan, Salman yang berhasil mendapatkan beasiswa bidik misi berkuliah di kampus negeri, dan aku, atas segala doa dan tangis sujud Mamak yang selalu kudengar di tengah malam, yang akhirnya membuatku berhasil bekerja di perusahaan bonafit. Aku bangga Mak dengan menunjukkan keterbatasan yang kita miliki, tapi Orang tuaku berhasil menjadikan anak-anaknya ini orang yang berambisi untuk menjadi sukses. Sampai kapanpun aku tidak akan merenovasi rumah ini Mak. Akan aku biarkan. Jika ada kayu yang longgar dan lapuk, maka akan aku ganti dengan kayu juga, tidak dengan bata dan marmer. Rumah lapuk ini lah yang membentuk anak-anak Mamak menjadi orang yang berhasil. Aku juga tidak akan pindah ke rumah dinas sampai rumah ini benar-benar sudah tidak layak ditinggali atau aku sudah berkeluarga nanti. Pun jika aku berkeluarga nanti, aku janji akan membawa Mamak dan Salman untuk tinggal di rumah dinas itu bersama. Selamanya. Kita jatuh dan bangun bersama, Mak. Kita tetap harus menaruh harap untuk menyambut Bapak kembali. Kita harus menanam rindu dalam-dalam agar tunasnya mampu tumbuh subur dan berbunga indah ketika Bapak kembali kepada kita. Sampai sejauh ini, Tuhan memang memberikan kita rejeki yang cukup. Bahkan kenyataannya kemarin kita hidup dalam kekurangan Mak. Tapi Tuhan memperkaya hati kita Mak dengan rasa bakti dan cinta yang mendalam satu sama lain. Kita harus mensyukuri itu semua Mak.”

Tak terasa air mata Mamak pun menetes dan pelan, mentari meraih dan menggenggam erat jemari kering Mamaknya dan tersenyum lega karena sudah bisa menyampaikan isi hatinya selama ini. Salman bangkit dari sandarannya di dinding kayu untuk memeluk Mamaknya. Tidak menangis, Salman dan Mentari cukup tegar dan kuat akan tempaan melankolis kehidupannya selama ini.

Mulai malam itu, Salman menjadi yakin untuk bisa terus membanggakan orang tua dan Kakaknya, serta menyimpan baik-baik harapan dan rasa rindu untuk Bapaknya. Hidup memang tentang perjuangan. Siapa yang tak kuat maka akan tertinggal. Siapa yang kuat, maka akan terus bertahan dan berjuang mengubah takdir menjadi lebih baik. Kita pasti akan bertemu dengan masa jatuh terpuruk. Tapi Tuhan selalu menjanjikan suka di balik duka. Kita manusia hanya bisa berharap dilancarkan segala sesuatunya untuk memecah kesulitan. Jangan pernah meminta dimudahkan dalam kesulitan, karena mudah dan sulit sungguh dua hal yang berlawanan. Biarlah kesulitan menghampiri, agar kita belajar mencari jalan untuk keluar dari kesulitan. Karena kesulitan tidak akan pernah berubah menjadi kemudahan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama