Cerpen Awal Persahabatan di Penataran P-4 Karya Iwan



Dengan nafas sesan Iwan berusaha keluar dari jejalan para penumpang angkota itu. Seperti juga lainnya, akhirnya ia bisa keluar dan sampai pada tujuannya. Di depan pintu SMAN 1, ia pun amat terkejut...ternyata Upacara Pembukaan Penataran P-4 itu sudah dimulai. Rasa gelisahpun menghinggapi dirinya, dengan mengendap-endap, Iwan pun mencari pintu masuk yang lain dengan tujuan nggak ketahuan guru dan para senior OSIS yang terkenal amat galak itu. Untung juga di samping gerbang ada tempat parkir yang kayaknya bisa nyelamatin dirinya. Jalannya dicepet-cepetin, namun buat nggak mencurigakan. Eh..e..e...betapa terkejunya Iwan, di depannya telah berdiri seorang cewek yang mengenakan tanda panitia penataran dan OSIS. Tampanya sich serem tapi cakep juga lho. Ceilah, sempet-sempetnya Iwan mikirin hal itu. Dan ia tambah terkejut lagi, kakak OSIS itu bersuara menghardiknya.

“Hei...ngapain kamu...seperti maling mau nyuri mangga?!” cetus kakak OSIS itu.

“Saya...saya terlambat kak...,” sahutnya dengan dada bergetar.

“Kenapa lewat sini? Lewat sana, lewat pintu depan, kan ada petugasnya!”

Dengan gaya seperti polisi, kakak OSIS itu membentak-bentak.

“E..e..dibilangin kok malahan bengong! Ayo jalan!”

“Tapi kak...maafkan saya...saya benar-benar nggak sengaja. Tadi itu angkotanya banyak yang penuh. Jadi saya harus antri. Untung saja masih ada angkota yang bisa saya naiki...,” jawab Iwan dengan keringat bercucuran, wajah pucat walau tetap berusaha nyelamatin dirinya.

“Nggak peduli, itu bukan alasan bagi seorang pelajar...sudah sana!”

Dalam hati sih, kakak OSIS itu ingin ketawa juga kalau ngeliat wajah Iwan yang kayak pengemudi motor ketangkep Polisi karena nggak memakai helm.

“Tapi kak, saya kan baru beberapa menit saja terlambat,” sahut Iwan nekat.

“O...gitu ya lagak kamu. Baru pertama kali masuk udah berani ngelawan, oke...boleh kita lanjutkan nanti. Sekarang kamu ke depan dan tunggu saya di kelas kamu!” perintah kakak OSIS itu.

Yah, akhirnya jadi juga deh dia dihukum, itung-itung sarapan pagi, tetapi hukumannya apa ya...batin Iwan. Dengan langkah lunglai lemas, Iwan berusaha melangkahkan kakinya ke depan gerbang sekolah di mana ada banyak teman-temannya yang juga terlambat, maklum hari pertama masuk...penataran lagi.

“Rasanya kalau bukan cewek, mau deh saya hantam,” Iwan ngomel ke Dony, temen SMPnya dulu.

“Iya...ya, kakak OSIS itu kayak malaikat aja, padahal belum tentu dia benar, dia kan juga manusia,” dalih Dony.

Anak-anak yang terlambat diharuskan ikut upacara sendiri kemudian sebagai hukumannya...merek harus berdiri di hadapan temen-temen seSMA. Yah...bagi Iwan sih nggak masalah, itung-itung mamerin tampang yang kata Bokap and Nyokapnya kalau dinilai dapet poin 8,5...tapi bagi temen-temen lainnya, kayaknya baru pertama kali mereka jadi bahan perhatian. Memang kedisiplinan benar-benar ditekankan dan dianjurkan dalam penataran ini.

***

“Hei kamu lagi, telah berapa kali kamu buat kesalahan?!” bentak kakak OSIS itu lagi.

“Lupa kak...perasaan saya sih, sudah saya masukkan ke dalam tas,” tutur Iwan membela diri.

“Emang kamu nggak pernah merasa salah?”

“Lho...kalau nggak sengaja, lha wong cuma nggak membawa hari ini, kemarin saya bawa, lusa saya juga bawa.”

“O ya? Sekarang kamu push up 10 kali!” perintah senior OSIS itu dengan jengkel tapi juga tegas menghukum Iwan.

Dengan bermalas-malasan Iwan pun akhirnya melaksanakan juga hukuman itu walaupun dengan hati kecewa.

“Sekarang tas kamu saya bawa, nanti seusai jam pelajaran ketiga, kamu ambil kartu di sekretariat dan setelah itu temui saya. You understand?!”

“Ya kak,” sahut Iwan. Sempat tergagap juga dia menghadapi hal itu. Nggak disangka kalau senior OSIS itu marah sekali. Emang kalau diingat-ingat, sampai pada hari yang keempat penataran ini...hanya hari Selasa Iwan nggak terima hukuman. Perasaan Iwan sih, dia jarang buat kesalahan, Iwan sendiri nggak ngerti kenapa dia sering ketiban hukuman. Sebenarnya, kalau hukumannya berupa fisik, perlu juga deh kita protes, cuma kalau emang kita para siswa baru, kita wajib nurut...ya kan? Tapi kata Renny, kakak Iwan, itu semua emang berguna untuk penggodokan mental dan kedisiplinan para calon siswa baru.

“Oke, saya ngerti mbak Renny, tapi hukumannya jangan terlalu dong, masa kita disuruh lari, push up, nyanyi yang lucu di depan kelas kemudian mereka pada tertawa kesenangan, itulah yang nggak Iwan sukai.”

“Nggak apa-apa kan Wan.”

“Nggak apa-apa gimana, mau saya taruh di mana mukaku ini mbak?”

“Alaaah, kamu kok nggak ngerti-ngerti juga sih Wan, dengan penataran itu kamu akan punya mental baja dan kedisiplinan tinggi. Lagipula, penataran itu kan tinggal dua hari saja, nanti kalau kamu ikutin dengan baik, so pasti deh kamu lulus, oke?” tutur Renny pada Iwan.

“All rights...aku akan berusaha sebaik mungkin,” jawab Iwan.
***

Hari itu bolehlah para siswa baru bernapas lega, karena usailah sudah penataran yang menyenangkan sekaligus menjengkelkan, dan tentu saja penuh kesan-kesannya yang mendalam. Siulan kecil terdengar dari mulut Iwan di dalam angkota yang dengan setia mengantar dia pulang tiap hari, tapi di depan sana kok rame sekali ya, spontan Iwan dan Dony turun ngikut nyebur dalam keramaian itu.

“Maaf, ada apa?” tanya Dony pada seorang abang becak.

“Itu lho den, ada nona keserempet mobil, nonanya jatuh! Lha itu sepeda motornya, lampunya pecah dan kasihan lho...apalagi yang nyerempet lari.” cerita sang abang becak singkat.

“Permisi pak, maaf ya,” Iwan bernafsu sekali melihat sang nona.

“Kakak itu...!”

Iwan mengejap-ngejapkan matanya seolah-olah tak mempercayai kejadian itu. Dan kalau ngelihat lokasi baju dan wajah itu, Iwan yakin sekali kalau nona itu adalah senior OSIS yang sering menghukumnya. Tapi rasa jengkel itu dapat dikalahkan dengan rasa kemanusiaannya, maka dengan cepat Iwan ambil tindakan.

“Maaf pak, tolong panggilkan taksi di depan itu, akan saya bawa nona ini ke rumah sakit umum. Eh, Don, kamu urusin kendaraannya, ya.” perintah Iwan.

“Oke, friend.” jawab Dony.

Sebentar kemudian, taksi yang membawa Iwan dan nona yang lagi pingsan itu meluncur ke rumah sakit umum. Tak lama kemudian sampailah mereka di tujuannya.

***

Dengan didera gelisah, Iwan menunggu di luar ruangan, yang menyebalkan plus menjengkelkan. Bersamaan dengan kegelisahannya keluarlah seorang suster dari ruangan itu.

“Maaf suster, bagaimana teman saya?” tanyanya.

“Oh, adik temannya ya...syukurlah dik, dia cuma terkejut. Luka-lukanya nggak begitu parah. Sudah kami periksa dan diobati. Cuma dia belum siuman, mungkin 2 atau 3 menit lagi.” kata suster itu yang ngerti kalau Iwan sedang cemas.

“Bolehkan saya masuk?” desak Iwan yang ingin sekali melihat senior OSIS pujaannya.

“Boleh, cuma saja jangan ganggu dulu, nanti terkejut lagi.” tegas suster itu.

“Terima kasih suster.” tanpa permisi lagi, Iwan berlari masuk menuju ruang itu.

“Cakep juga cewek ini, manis lagi. Cuma kok sekarang nggak ada wajah yang serem seperti kemaren-kemaren, sekarang kayaknya berubah jadi lembut dan juga sabar.” batin Iwan penasaran.

Sambil menunggu siumannya, iseng ia membuka tas milik senior OSIS itu.

“Siapa ya namanya, kok selama ini aku belum tahu, lha ini ada kartu OSISnya. O...o..., Lina Sari RE, pantas banget deh dengan orangnya.”

“Oh..oh..eh..eh..” terdengar rintih senior OSIS itu.

“Oh, mbak Lina, sudah siuman?”

Dengan terkejut Lina memandangi sekelilingnya yang serba putih. Gorden putih, taplak meja putih, juga sprei putih...pokoknya serba putih.

“Mbak Lina di rumah sakit.” kayaknya Iwan tahu apa yang sedang direnungkan oleh Lina.

“Oh, kamu Wan, ada apa kamu di sini?”

“Saya tolong mbak Lina sewaktu kecelakaan di depan terminal tadi.”

“Jadi...?”

“Ya, mbak...”

“Apanya yang iya, wong saya belum selesai ngomong.”

Keduanya pun sama-sama tertawa seakan tidak pernah ada permusuhan di antara mereka.

“Tapi Wan, mulai sekarang kau jangan panggil aku mbak, Lina saja, oke?”

“Setuju banget.”

“Oh, ya Wan.”

“Ada apa lagi?”

“Maafkan saya Wan, kalau saya pernah bentak-bentak kamu...”

“Ah...nggak apa-apa Lin, itu emang sudah tugas kamu sebagai pengurus OSIS.”

***

Hari berganti hari, minggu-minggupun berlalu. Akhirnya setelah sekian bulan mereka menjalin persahabatan, tahulah Iwan bahwa Lina benar-benar seorang sahabat yang baik, dan Iwan banyak belajar dari Lina, baik itu tentang pengalaman sekolah, pergaulan maupun soal-soal lainnya. Memang banyak juga yang mengira kalau mereka bukan hanya sekedar bersahabat, tapi lebih dari itu. Emang non sense, yang namanya persahabatan antara cowok dan cewek dapat berjalan seperti apa yang telah mereka jalin dan seperti yang banyak orang katakan. Tapi mereka ingin membuktikan bahwa semua itu ada, karena butir-butir persahabatan nampaknya jelas di amta mereka.


Sahabat adalah ladang hati
Dialah naungan sejuk keteduhanmu
Yang penuh kasih kau taburi...
Dialah sebuah pendiangan
Demi hangatkan sukmamu
Karena kau menghampirinya
Di kala hati gersang kelaparan
Dan membutuhkannya
Di kala hati menginginkan kedamaian...

_____

- Iwan

Sumber: Majalah SMA 1 Ngawi "Bhaskara" Tahun 1992.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama