Cerpen Akur Yok Karya Putri Sasa



Suasana kantin ramai. Aneka suara ada. Aneka model punya. Mulai suaranya yang keras, sampe yang ngomongnya super lembut melebihi Putri Solo kesasar. Dari bentuk muka yang lonjong, bulat telur Blekok sampe yang mukanya ditempati oleh gunung-gunung penghasil kacang jempolan. Pokoknya, semua ada dech! Di sudut kantin, tampak empat cewek kece lagi asyik ngomongin soal majalah sekolah yang baru saja nongol. Rin sambil membanting arem-arem ke mulutnya nyeletuk.

“Gimana sih ceritanya kok sampe majalah yang enggak dosa jadi sasaran?”

“Ya enggak tau! Yang jelas, ada beberapa anak yang enggak setuju dengan penerbitan majalah di sekolah kita ini. Lantas disobek,” win berdiplomat. Sementara rin diem mengunyah arem-arem.

“Namanya aja baru terbit, kurasa kalau yang pro dan kontra itu wajar,” sambut Raras.

“Tapi kan enggak gitu caranya,” suara Rin muncul setelah beberapa saat diam membisu. Raras dan Win menoleh. Begitu juga Luh yang diam saja.

“Lantas... caranya gimana dong...,” tanya Win seru.

“Kau kira aku tau yaa...,” jawab Rin santai sambil mengambil wafer.

“Hu... lugunya...,” teriak Raras gemes dan langsung menjambaknya diiringi Win dan Luh. Rin hanya bisa meringis-ringis menahan rasa sakit yang oke punya itu. Ulah Win, Raras dan Luh yang sambil cekikikan menarik-narik rambut Rin yang tak berdosa itu sempat jadi perhatian penduduk kantin situ. Setelah itu ketiga teman seangkatan Rin meninggalkannya. Lantas mengambil kerupuk upil teronggok di depannya. Rin yang baru saja menabrak gelas esnya sampe tandas, langsung aja menyabet beberapa plastik kerupuk yang diselempitkan ke kantongnya. Ketiga temannya cuma tersenyum geli. Tapi Rin cuek aja.

“Kalian habis berapa?” tanya Luh pendek.

“Lima ratus!” jawab mereka berbarengan. Selesai ngurusi acara bayar-membayar, Luh menghampiri ketiga sobat kentalnya.

“Kita kembali aja yok...!” ajak Luh sembari meninggalkan ketiga sobatnya yang masih bengong lihat si Luh barusan. Rin yang baru sadar kalau Luh telah melesat dua puluh meter di depannya, segera menyeret Win dan Raras untuk mengejar Luh. Lari mereka berhenti tepat di depan kelas. Di depan pintu itu Luh sedang cakar-cakaran sama Resnu dan teman-temannya.

“Ya bebas tho! Mau duduk di sini kek, di sana kek, ya terserah aku!” kata Resnu ringan. Dia makin girang lihat muka Luh yang marah bak kepiting rebus.

“Tapi... masak sih duduk di tengah pintu! Apa yang mau lewat kamu doang. Kayak enggak pernah diajak sopan-santun saja!” Luh mencak-mencak di depan Resnu. Termasuk bolo Resnu and bolonya dhewe. Luh makin sebel lihat sikap Resnu yang kayaknya cuek bebek aja. Rin yang melihat keadaan muka Luh yang memprihatinkan itu sudah enggak tahan lagi. Dicobanya untuk menengahi pertengkaran antara Luh dan Resnu.

“Udah dech Luh... Res... apa sih untungnya bertengkar. Dan kamu Res, ngalah dikit kenapa sih! Kalo kamu ingin dapat, ya sabar dong...,” ujar Rin sambil melirik ke arah Raras dan Win. Resnu yang tau maksud Ririn cepat-cepat mengambil keputusan. Rin, Win dan Raras mesem-mesem lihat Resnu kebingungan.

“Oke! Cepat masuk sebelum ronde kedua dimulai,” kata Resnu dingin.

“Emangnya pertandingan tinju...” seloroh Raras menggoda. Resnu cuma mendelikan matanya. Raras malahan ketawa terpingkal-pingkal. Keempat cewek itu lantas masuk menuju tempatnya masing-masing. Sebenarnya sih, Luh belum puas bertengkar sama Resny, si Brengsek itu selalu mencari gara-gara dengannya. Belum sampe sepatah kata melompat dari mulutnya, Raras keburu menyeretnya masuk. Dalam hati Luh menyumpah-nyumpah Resnu. Apalagi setelah melihat Resnu masuk kelas dengan muka cengar-cengir kayak kuda, Luh makin kesal aja. Luh diam saja di tempat duduknya. Rin, Raras dan Win tau kalau Luh sedang kesal sama Resnu enggak mau mengusiknya. Enggak usah ambil resiko dech!

Tanpa terasa, waktu terus melaju. Dengan berakhirnya waktu istirahat, tibalah waktu yang sangat menegangkan bagi anak-anak biologi satu, kelas Luh. Kimia emang maut! Tapi itu untuk anak yang otaknya rada bengkong. Bagi mereka, KImia adalah momok yang sangat mengerikan. Lain lagi halnya dengan Resnu dan Luh. Itu sih bukan soal memusingkan. Anak-anak mengikuti pelajaran dengan menahan napas. Sampai sesak yaa.. tetep ditahan. Untung aja jam di dinding yang di ruang guru tak berhenti, alias normal-normal mawon. Mereka dapat menarik napas lega. Segera saja membereskan alat-alat tulis dan bersiap-siap untuk go home. Setelah semua selesai, mereka pada berhamburan keluar dari kelas yang sudah penuh dengan sisa-sisa pembakaran. Di antara puluhan kepala itu, tampak Rin, Win, Luh en Raras berjalan beriringan menuju tempat parkir yang ada di samping kantin sekolah. Tak lama kemudian mereka sudah cabut menuju rumahnya masing-masing.

***

Bagi Luh dan Resnu, tak ada hari tanpa bercakar-cakar ria. Tapi sialnya, Luh yang selalu bernasib sial. Selaluuu keok! Kalau udah gitu, rasanya ingin menjerit saja. Dan temen-temen Luh lainnya juga sudah tau, kalau dia sama Resmu sedang mengadakan perang dunia ketiga. Pokoknya serem dech! kata mereka pada yang lain. Setiap kali Luh mati kutu ditelan permainan kata-kata Resnu, Luh dengan muka cemberut, segera meninggalkan Resnu yang masih ngomel-ngomel meledeknya habis-habisan. Justru saat Luh cemberut itu, Resnu merasakan kenikmatan yang luar biasa walau sesaat. kata Resnu pada Wawan kemarin, kalau Luh cemberut, manisnya bertambah satu kilo. Entah gimana cara Resnu menimbangnya. Di samping muka Luh yang cemberut, yang melahirkan kenikmatan tersendiri itu, Resnu juga demen sama suara Luh yang merdu bak buluh perindu, itu perasaan Resnu saja. Sehari enggak dengerin suara Luh yang aduhai itu, Resnu bisa uring-uringan sendiri. Kadang kalau pas libur panjang, Resnu maksa si Iyem pembantunya untuk ngomel-ngomel atau membentak-bentaknya. Itu usaha Resnu untuk dapat selalu menikmati suara Luh. Tapi suaranya Iyem kayak suara kodok pecah gendang suaranya. Mungkin masih bagusan suaranya kodok. Tapi Resnu enggak memperdulikan. Pernah mamanya Resnu membawanya ke psikolog. Ia khawatir sama anaknya yang semata wayang. Untung saja nggak jadi. Kalau mau jujur, Resnu ada feeling yang tersembunyi pada Luh. Tapi Resnunya bingung melulu. Bingung gimana cara mengatakannya.
Pagi yang cerah. Tapi tak secerah pikiran Luh yang lagi kisut. Enggak tahu kenapa hatinya yang cuma satu itu dag dig dug der dan menghentak-hentak. Wawan melangkah dengan lesu memasuki ruang kelas yang sudah ramai dan dipenuhi jeritan Evi yang dilempari anak cecak oleh Didik. Wawan tak menghiraukannya, walaupun Evi itu doinya sepotong dan terkasih. Wawan meletakkan tasnya lembut. Maklum baru kemarin belinya, dari tasnya ia mengeluarkan sebuah surat dan diletakkan di atas meja guru. Tanpa komentar Wawan meluncur ke arah Luh.

“Gara-gara bertengkar sama kamu, penyakit Resnu kambuh!”, kata Wawan sinis. Wawan memandang Luh tajam. Luh bengong lihat muka Wawan yang kusut. Tak seperti biasanya, pikir Luh yang masih kebingungan.

“Sakit apa? Tumben...” tanya Win yang duduk di dekat Luh ringan.

“Lemah jantung. Sekarang dia berbaring lemah di kamarnya,” Wawan berkata lirih. Luh terperanjat. Luh seakan berdosa dan amat berdosa sama Resnu. Setelah Wawan meninggalkannya, Luh jadi gelisah, kalau Resnu ada dia benci setengah koit, kalau sakit gelisah setengah hidup. Kalau dipikir-pikir emang lucu juga. Tanpa terasa bel masuk telah berdentang. Satu persatu mata pelajaran diikuti Luh meski satupun tak ada yang singgah di otaknya. Sepulangnya, Rin yang bawel itu membuka percakapan dengan ketiga friendnya.

“Luh... udah dech! Nggak usah dipikirkan terus. Apa kalo udah kau pikirkan itu akan sembuh sendiri?” kata Rin lembut. Takut menyinggung hati Luh, terus terang aja!

“Ya Luh, mendingan kamu tengok keadaannya...siapa tahu aja langsung sembuh atau setidaknya berkurang sakitnya...,” celoteh Raras genit.

“Seratus! Aku mendukung ide Raras sepenuhnya. Pasti Resnu terlonjak gembira melihat kamu datang,” Win menimpali ucapan Raras dengan antusias banget.

“Apalagi kalau kamu bawakan balon yang warnanya norak! Atau bawa sandal jepit saja dech.. tanggung seratus persen halal!” komentar Rin panjang lebar disambut dengan ha ha hi hi teman-temannya.

Setelah dipikir-pikir emang itu jalan satu-satunya yang terbaik.

“Kalau menjenguk pun enggak bareng-bareng kalian..,” komentar Luh sambil tersenyum tipis.

“Siapa yang mau ikut kamu?! Enakan nampang sambil makan kacang!” Raras berucap dengan cemberut.

“Kalau kamu cemberut, persis kayak nenek-nenek...,” goda Luh, yang disambut derai tawa Raras, Win dan Rin.

“Oke dech! Ayuk pulang. Entar mama marah lagi,” lanjut Luh sambil menstarter Primanya. Tak lama kemudian mereka sudah kabur dengan sepeda motor masing-masing.

Setelah makan siang Luh buru-buru ganti baju santai. Luh matut-matut diri di depan cermin kamarnya. Wajahnya yang anggun dipolesnya dengan pupur dikit. Rambut dibiarkan terurai panjang. Setelah semua selesai, Luh berjingkat-jingkat ke belakang untuk pamitan sama mamanya. Selesai pamitan, Luh telah kabur ke rumah Resnu.

Sesampai di sana, Luh langsung disuruh mamanya Resnu untuk masuk ke kamar Resnu. Sebenarnya sih, Luh enggak mau. Malu kan! Lagipula kan risih, ya nggak! Tapi karena mamanya Resnu maksa, ya... masuklah Luh ke kamar Resnu dengan hati yang berdebar-debar. Alangkah terkejutnya Luh setelah melihat Resnu dan Wawan tengah berbincang ria dan ketawa-tawa. Melihat kedatangan Luh, yaaa Wawan tahu dirilah. Dengan mengedipkan sebelah matanya, Wawan segera meninggalkan Luh dan Resnu yang asyik tersenyum-senyum melihat ulah Wawan yang dinilainya tanggap ing sasmito. Luh kesal sekali, mukanya dirasakan amat panas. Resnu yang sempat melihat perubahan muka Luh itu, kembali mengumbar senyuman tipis. Tapi dirasakan Luh penuh arti yang mendalam.

“Duduk dong Luh... masak berdiri di situ aja,” kata Resnu perlahan. Dengan malas, Luh mendudukkan pantatnya di kursi meja belajar Resnu yang letaknya di samping ranjang Resnu. Luh memperhatikan keadaan sekeliling kamar. Deg! Jantung Luh berhenti sesaat, matanya yang bening menangkap sesosok lukisan yang dirasakannya amat persis dengan mukanya yang bulat telur. Lukisan itu begitu hidup dan mengesankan. Di bawah gambar itu terpampang namanya yang ditulis dengan bagus sekali. LUHITA, sebuah nama yang diam-diam menggoda hati Resnu.

“Yang melukis itu siapa ya Res?” tanya Luh tanpa mengalihkan pandangannya dari lukisan itu.

“Untuk apa.. entar kalau aku bilangin kamu akan berkenalan sama dia...”

“Emangnya nggak boleh... kalau dia mau apa salahnya...,” Luh mencibir ke arah Resnu. Luh enggak khawatir, karena dia tahu bahwa Resnu enggak bisa melukis seindah itu. Setahunya Resnu selalu dapat nilai enam. Pokoknya enggak bakat dech!

“Setelah kenal, entar kamu naksir dia.. kan berabe...,” Resnu berkata lirih.

“Apa urusanmu?! Kalau emang dia mau?!” suara Luh kian meninggi.

“Yaa tentu saja ia mau. Habis kamu cakep sich..,” kata Resnu enteng.

“Kok kamu bisa-bisanya pastikan kalau dia mau?” kata Luh penasaran.

“Yaa tentu dong... soalnya yang melukis kan aku sendiri...,” Resnu kembali tersenyum.

“Apa? Kamu yang melukis ini?” suara Luh bernada tak percaya, bagaimana mungkin? Sementara itu Resnu puas berhasil membuat kejutan for Luh.

“Kamu enggak percaya? Kalau enggak ya udah! Oh, ya.. kamu ke sini mau menengok aku kan? Ngapain kita diskusi soal lukisan itu?” Resnu mengakhiri perdebatan itu dengan senyuman yang selalu membuat Luh merem-merem. Sementara jantungnya terus ber deg-deg ria. Luh mencoba menguasai keadaan.

kata Wawan kamu sakit lemah jantung. Ngapain dari tadi kamu ngomong melulu?”

“Jadi, Wawan tadi bilang kalau aku sakit lemah jantung?”

“Iya... malahan katanya kamu terbaring lemas di kamar...,” Luh tersenyum, sedang Resnu cemberut.

“Ah! Enggak kok. Aku enggak sakit gituan. Wawan jahat..” Resnu cemberut.

“Jadi, kamu tadi bolos ya...,” Luh terkejut mendengar pengakuan Resnu.

“Eh! Sorry ya...,”

Jawab Resnu pendek. Memperhatikan juga dewiku ini.

“Kalau enggak bolos, sakit apa dong kamu...” tanya Luh penasaran.

“Biasalah anak muda, sakit Malarindutropikangen...,” Resnu kembali tersenyum.

“Pastilah sama Utami!” Luh berkata cepat. Resnu tersenyum-senyum saja. Heran, dari tadi kok senyum terus. Jangan-jangan otaknya udah enggak penuh.

“Enggak... enggak sama Utami kok! Tapi sama kamu!” Luh tertegun sejenak. Tapi cepat-cepat mengembalikan warna mukanya seperti semula. Belum sampai Resnu melanjutkan kata-katanya, dari luar kamar, suara Wawan tengah memanggil-manggilnya.

Dengan langkah berat, dibukanya pintu kamar perlahan. Terlihat Wawan dan bolo-bolonya tersenyum-senyum menggoda.

“Res... kalau lagi seneng-seneng enggak ingat sama temen lagi, eh Rin, kita-kita dicuekin nih yee. Lihat saja dianya cuma cengar-cengir...” kata Wawan pada Rin.

“Kita harus cepat bertindak. Kalau dibiarkan bisa keenakan dia...,” Raras berkata sambil maju ke depan hidung Luh dan Resnu.

“Apa-apaan sih kalian... enggak ingin lihat orang senang ya...” kelar juga Resnu berkata untuk membela diri. Membela diri? Ada aja ini si Resnu.

“Enggak! Ayo Luh pulang, besok ada ulangan lho. Kamu harus belajar, besok kami nyontek sama kamu!” Win berkata cepat. Bersama Raras dan Rin ia menyeret Luh ke teras depan. Resnu yang melihat perbuatan semena-mena itu cuma dapat bengong. Luh menoleh ke arah Resnu. Tapi Resnu cuma melongo. Cihhh! Gila itu anak! Ada orang mau minta tolong, malahan cuma bengong melulu. Wawan yang melihat reaksi Resnu cuma bisa tertawa ngakak. Kok tolol amat sih! Kayak gini kok mau dapat... siapa yang mau?

_____

- Putri Sasa

Sumber: Majalah SMAN 1 Ngawi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama